Aku bisa melihat semuanya.
Kepingan musik, bayangan hitam, bunga liar yang kutahu pasti bukan jenis bunga apapun yang ada di dunia. Mata-mata sayu yang beberapa di antaranya menatap sesuatu—atau seseorang—ingin tahu. Atau sosok berjalan dengan bentuk yang tak bisa kujelaskan.
Itu bukan hanya sekedar penglihatan. Karena aku juga bisa mendengar semuanya.
Suara kunyahan, langkah-langkah kaki, ketukan iseng pada papan-papan kayu, dan panggilan kesepian yang tertuju padaku. Namaku. Ada juga ritme dentingan nada pendek di ruang musik sekolahku. Sesekali. Seseorang yang menekan tuts piano. Tapi itu tidak sering terjadi memang, karena satu hal yang kutemukan pada mereka adalah, tidak banyak yang mengerti tentang musik. Lebih-lebih menyukainya.
Justru, kadang-kadang mereka semua seperti buta nada.
***
Sepekan sebelum ujian, aku membaca buku di halaman belakang rumah sambil menyantap makan siang. Aku duduk di atas batu besar yang menghadap ke rerumputan kecil, sembari mengobrol dengan seseorang.
“Nenek, kau tidak lapar?” Tegurku tanpa melihat ke arah lawan bicaraku. Nenek tua di sampingku menjawab pelan seperti nyaris berbisik.“Lapar.”
“Kenapa tidak makan?”
Suaranya terdengar jengkel,“Memangnya kau tidak lihat aku sedang makan?”
Aku melihatnya. Tadinya tidak. Karena nenek sedang makan sesuatu yang tidak terlihat. Mungkin makanan favorit dalam khayalannya.
Ckckck.. Decakku dalam hati.
Aku tidak tahu pasti usia nenek lebih tua dari Kakek Horrest atau tidak. Mereka berdua sama-sama sudah pikun, punya warna rambut yang putih, dan tatapan mata mereka hampir selalu tidak fokus. Perbedaannya, tubuh nenek lebih tambun. Tidak pakai kacamata, dan tidak berjalan menggunakan tongkat. Kurasa karena aku juga tidak pernah melihatnya berjalan kemanapun.
Nenek selalu duduk di kursi kayu. Sepanjang waktu. Dan dia bukan manusia.
“Banyak anak-anak bermunculan sejak musim semi. Mereka lumayan berisik.”
“Benarkah?” Aku menoleh.
“Oh—iya..” Aku teringat sesuatu. Pembicaraan ringanku dengan bayangan hitam bertubuh pendek di sekolah beberapa hari lalu. Saat itu juga tengah hari seperti ini, ruang kelas sepi. Tapi sebenarnya tak sesepi itu karena kekosongan udara diisi oleh celotehan—yang kebanyakan hanya kutanggapi dengan anggukan.
“Mymo, kau sudah dengar?” Sambar si roh kecil. “Ada Guardian yang muncul di sekitar sini!” Aku tidak menjawab. Hanya mendengarkan. Dua pertiga perhatianku lebih teralihkan pada buku-buku yang berserakan di atas meja.
“Kau tahu kan.. Ada beberapa pindahan baru,” Aku mengangguk. Para roh—aku menyebutnya begitu—suka datang dan pergi melalui sebuah kota. Tapi kebanyakan mereka yang sudah datang ke sini memilih tinggal.
“Kedatangan Guardian membuat kehebohan. Kau sudah bertemu dengannya?” Roh itu memiringkan kepala.
Belum, gelengku. Nanti kalau bertemu aku pasti tahu. Tidak sulit mengenali roh pendatang di antara roh-roh lain yang telah kulihat selama bertahun-tahun.
“Nenek, Guardian itu siapa?” Tanyaku. Kembali ke makan siangku.
“Seorang Penjaga.”
“Aku tahu artinya. Tapi, siapa dia? Penjaga apa?”
“Siapa, ya..” Nenek mulai kehilangan fokus, menatap ke langit-langit. “Uhukk!”
Tiba-tiba dia tersedak!
Aku langsung meletakkan makananku. Beranjak bangun.
Lalu di belakang nenek, tentu saja tanpa berpikir aku memukul punggungnya sekuat mungkin. Sekali, dua kali. Mata nenek melotot ke arahku, protes. Tangan ringkihnya memegangi leher.
Ah iya.. Berarti makanannya belum turun. Aku memukul tengkuknya kuat-kuat dengan sisi telapak tanganku. Nenek terbatuk parah.
“Beraninya kau memukul punggung seorang nenek tua..” Gerutunya, setengah mengomel.
“Sama-sama,” Sahutku. “Barusan itu nenek tersedak apa sih? Udara?”
Nenek tidak menanggapiku. Dia melanjutkan ‘makan siang’nya seolah insiden tercekik barusan tidak pernah terjadi.
“Nenek..” Sepertinya hari ini aku sedang iseng. Kadang, kalau kebiasaan ‘tiba-tiba diam’nya kambuh, aku suka menggodanya.
“Tubuh nenek yang gemuk itu, karena masuk angin ya?” Nenek menimpukku dengan sesuatu! Aku menghindar? Tentu saja tidak.
Kena? Tidak. Yang dia lempar itu kan, udara.
“Benar-benar ya kau!”
Aku terkekeh.
Orang-orang lansia itu lucu ( Walaupun secara harfiah nenek bukan orang, sih ). Mereka bisa sangat cerewet, lalu terdiam seolah tidak mendengar apapun sama sekali. Terkadang, mereka memelototi ke arahku dengan sangat tajam, mencurigai gerak-gerikku. Lalu sekejap kemudian terbengong-bengong dengan pandangan kosong.
Kalau aku meledek, nenek ‘roh’ biasa menjawab sekenanya. Tapi dia bisa tiba-tiba menyerangku saat egonya terusik. Dengan sesuatu dalam imajinasinya yang.. Lebih aneh dari khayalan anak-anak.
Setelah beberapa jenak hanya terisi oleh serangga dan daun-daun yang bergesekan lembut, telingaku mendengar barisan nada familiar lain yang beterbangan keluar dari bangunan di sebelah rumahku. Bersamaan dengan kepingan-kepingan kecil berwarna putih yang menyebar menyusuri udara. Bentuknya persis partitur musik.
“Suara berisik apa ini?” Keluh nenek.
Apa lagi? Pasti petikan mandolin Paman Alfred.
“Wah, sumpah. Kenapa di umurnya yang sudah hampir setengah abad pekerjaannya masih saja membetot senar!?”
Aku tersenyum menganggapi nenek yang mengomel. “Alat musik itu berisi kenangan masa mudanya, Nenek. Kata paman, mandolin tua itu bukti sejarah hidupnya.”
“Aku tidak peduli benda apa itu, tapi semua irama payah ini merusak selera makanku.” Akhirnya, nenek menghentikan aktivitas yang dia tekuni sejak sejam lalu. Makan angin! Pikirku, baguslah!
“Haiss!” Nenek berteriak. “Apa yang dia lakukan siang bolong begini? Kalau dia mengubah jadwal konsernya jadi tujuh kali dua puluh empat jam aku pasti meninggal!”
Benar juga.. Biasanya Paman Alfred memainkan mandolinnya saat senja. Saat warna langit sudah jingga atau bergradasi keunguan. Siang ini entah mengapa benda itu berbunyi.
“Oh—Mymo!” Seru paman saat keluar dari rumah dan melihatku. Bunyi petikan senarnya lenyap. Partitur musik yang mengudara juga lenyap.
“Mengganti jadwal bermusikmu, Paman?”
Dia mengulas cengiran kecil. “Hanya iseng. Lagipula, kita tidak pernah tahu kapan kenangan akan datang menghampiri kita. Dan memanggil untuk melakukan kebiasaan lama.” Aku tersenyum spontan. Setuju dengan itu.
“Ngomong-ngomong, kau sudah makan siang?”
“Sudah! Baru saja selesai.” Kutunjukkan piringku yang kosong.
“Baguslah.” Angguknya.
“Bagaimana dengan paman?”
“Orang tua ini sudah biasa menahan lapar. Perutku bisa menunggu.”
“Jangan dibiasakan, Paman.” Ucapku tulus. “Jangan sampai sakit.”
Paman Alfred mengangguk lagi, memposisikan tangannya memegang mandolin. “Satu lagu lagi sampai makanan pembuka, oke? Ellie sedang memasak. Aku bisa mencium aroma lezat yang keluar dari rumahnya.” Aku menunjukan jempol yang terangkat. Lanjutkan!
Deretan musik familiar itu kembali mengudara. Kepingannya datang padaku berbarengan dengan ritme yang mengalun.
“Bagus. Kau memberi mesin pembetot kayu itu bahan bakar..” Komentar nenek roh dengan wajah datar. Entah sejak kapan dia kembali mengunyah.
“Suara mandolin Paman Alfred tidak seburuk itu..” Sanggahku.
Nenek tidak menjawab.
“Kenapa para roh sangat tidak menyukai musik?”
“Roh apa? Siapa?” Aku menyerah.
Lagu yang dibawakan Paman Alfred terus mengalun memecah keheningan terik siang. Menjadi pengantar tidur untuk para penghuni rumah di sekeliling kami ( Kalau ada ). Aku sendiri tak tahu banyak tentang lagunya. Hanya karya lama yang digemari generasi seusia paman.
Tanganku terangkat saat dua-tiga kepingan putih lewat di depan mataku, ujung jemariku menyentuhnya.
“Tidak semuanya dari kami. Dan tidak selalu.” Ucap nenek tiba-tiba.
Aku menoleh.
“Hanya saja, musik punya kemampuan membangkitkan kenangan. Kenangan-kenangan yang tidak ingin kita ingat sekalipun.”
Kemudian nenek diam. Tanpa mengeluarkan suara mulut yang mengunyah.
Dia tertidur.