Pulang ke Nolosha

Dandelili
Chapter #4

3. MELEWATI PEMBATAS

Tubuhku membeku karena hawa dingin yang menusuk. Terutama pada bagian punggungku. Entah bagaimana, aku sudah dalam posisi berbaring menghadap ke langit. Langit yang putih bersih.

Di antara latar belakang putih itu, aku melihat benda putih lain yang berjatuhan lembut. Jumlahnya banyak sekali.

Apakah itu bintik-bintik yang sama seperti sebelumnya? Aku baru sadar saat benda itu berjatuhan di atas wajahku bersamaan dengan sensasi dingin yang menggelitik.

Ini bukan bintik cahaya. Ini salju!

Aku bangun dari posisi berbaringku lebih cepat dari yang kukira. Kakiku sempat limbung saat sepatu boat yang menempel padanya sedikit merembes.. Di permukaan yang tertutup salju. Mengagumkan.. Sepanjang pemandangan yang kulihat menyatu dengan salju. Pohon-pohon, tanah—atau rumput, dan pucuk-pucuk bukit. Aku berdiri terpana dari atas dataran tinggi yang bagian depannya meliuk turun dengan anggun. Lereng landai itu berakhir dengan sungai kecil yang di atasnya berdiri sebuah jembatan. Seluruh atmosfer yang kulihat adalah perpaduan warna putih dengan hijau tua.

Indah sekali.. kepulan asap tipis menguap dari napasku.

Dan perasaan dingin yang hampir kulupakan kembali datang. Lenganku diusap erat oleh genggaman tangannya sendiri. Secepat yang langkahku bisa, aku membawa kedua kaki ini berlari menyusuri lereng. Menggebu-gebu dan nekat. Ada dua hal yang membuatku cepat sekali memutuskan berlari. Satu, hawa dingin yang melekat. Dua, rasa senang bercampur penasaran yang memuncak.

Pemandangan ganjil di bawahku mengepulkan asap dari pipa-pipa bercelah. Itu stasiun kereta! Terlebih, di tengah daratan yang ditumbuhi pepohonan begini?

Hanya butuh tiga puluh detik untuk tiba di jembatan kayu melengkung sebagai penghubung dataran putih yang terbelah sungai kecil. Sungai di bawahnya tidak membeku walau airnya tetap terlihat sangat dingin. Aku berdiri di tengah jembatan, terpaku menyaksikan makhluk mirip ikan yang berenang alami di bawahnya.

Lalu, sedikit lebih jauh, atmosfernya berubah menjadi hiruk-pikuk rendah beberapa makhluk yang lalu lalang di jembatan yang kupijak. Mereka semua berkepala buaya ( Atau aligator? Entahlah, aku tidak tahu apa bedanya ). Seluruh tubuh mereka juga buaya!—atau aligator?—yang terbalut pakaian sederhana abad pertengahan. Berdiri dengan dua kaki, Bertangan kekar sembari mengangkut barang-barang di pundak. Sudah pasti itu para roh. Aku spontan merapatkan diri ke sisi samping jembatan saat satu per satu dari mereka lewat. Bukannya takut, lebih ke takjub. Sepertinya roh-roh ini para pekerja stasiun sungguhan! Tentu saja mengherankan karena roh yang muncul di tempatku semuanya adalah pengangguran—yang punya hobi terbengong di pinggir selokan seharian.

 Tiba saatnya aku berhadap-hadapan langsung dengan badan kereta. Kesan warna cokelatnya yang klasik berubah menjadi sangat dingin saat jemariku menyentuhnya.

Mengagumkan.. Kata itu lagi.

Tapi aku memilih berjalan menyusuri lapisan salju mengikuti panjang badan kereta yang berdiri di atas rel, ketimbang menaikinya. Sepanjang jalan ini diisi oleh para buaya pengangkut barang. Mereka cuek-cuek saja dengan keberadaanku seolah aku hanya seorang turis.

Kakiku melangkah sangat ringan menyusuri hutan pohon pinus tak berbatas yang melingkupi stasiun. Aku teringat salah satu dongeng anak-anak berjudul ‘Alice’. Aku merasa seperti tokoh utama dalam dongeng itu yang tersesat ke dunia lain.

Dan entah bagaimana, makhluk pertama yang kutemukan setelah buaya, adalah kelinci berbulu putih. Aku terkesiap. Memangnya aku ini benar-benar Alice, apa?

 Bukannya kelinci berjas biru yang mengenakan arloji, kelinci-kelinci ini hanya ditutupi gumpalan bulu mirip bola di tubuhnya. Kelompok mereka menyeberang lompat di depanku. Lompatan yang justru terlihat seperti terbang, dari arah badan kereta di kiri menuju rimbunan pohon-pohon di sisi kanan.

Kalau kuperhatikan, mereka berseru dengan suara yang imut, tapi mengandung kecemasan. “Lariiii!!!”

Aku malah berhenti. Lari dari apa?

Tiba-tiba badan kereta di sisi kiriku mengeluarkan kepulan asap disertai suara runtuhan. Bagian atasnya seperti tertiban sesuatu. Kepalaku terangkat refleks ke arah sumber suara dan mataku menangkap makhluk besar yang muncul di antara bagian kereta yang rusak. Mata kami bertatapan.

Untuk pertama kalinya, aku melihat siluet makhluk itu. Banteng raksasa! Bola matanya seperti ditumbuhi urat-urat merah. Kakiku membeku sepersekian detik. Dan aku merasakan perasaan asing yang sangat nyata. Mirip seperti takut, tapi lebih tepat disebut ‘Insting bahaya.’ Sinyal ini menjadi alarm yang memaksa kakiku berbelok ke kanan dan berlari secepat mungkin mengikuti rute para kelinci. Di antara rimbunan pohon. Tanah yang kupijak ini terhentak-hentak. Sial! Dia mengejarku.


Peluhku membasahi bagian dalam jaket. Mataku melirik tajam ke samping-belakang dengan posisi berdiri membelakangi pohon. Bersembunyi. Radius beberapa meter di belakangku, banteng raksasa itu sedang bergerak dengan pola acak sembari menumbangkan pohon-pohon.

Sepertinya mencariku.

“Ini benar-benar gila.” Seruku pelan pada diri sendiri. Walaupun tidak panik, degup jantungku tidak memelan. Otakku sibuk memikirkan cara untuk lolos dari makhluk itu.

Di kanopi pohon di atas kepalaku, ada sesuatu yang berbisik pelan. Sebelum aku memeriksanya, tanah yang kupijaki merembes turun dengan cepat. Aku terjerembap seperti jatuh ke lubang tikus. Tahu-tahu bagian atas tempatku jatuh sudah tertutup rapat. Tubuhku meluncur mengikuti jalur terowongan sempit dan terbanting di atas tumpukan jerami yang tipis. Para makhluk yang seperti tikus raksasa mendatangiku.

Aku mengumpat pelan. Ini memang lubang tikus! Tepatnya sarang tikus. Kakiku lemas. Kepalaku tidak berhasil mencerna semua kejadian barusan. Lucu memang, kenapa aku baru merasa mau pingsan sekarang? Entah karena baru saja lolos dari makhluk raksasa, atau justru karena cara lolosku adalah jatuh terjerembap di antara kelompok tikus yang juga super besar. 

Tubuhku terhuyung lemas.


***


Aku sudah duduk di atas ranjang dengan kaki yang berbalut selimut. Salah satu dari mereka—Ternyata sekeluarga tikus yang ramah—menyuguhkan teh dalam cangkir mungil yang mengeluarkan aroma kayu manis. Aroma hangat yang menenangkan. Mereka sama seperti para buaya, berdiri dengan dua kaki. Hanya saja, setelan pakaian mereka lebih manis, alih-alih mengenakan kaus dan celana buruh kasar kereta api.

“Tanah jadi tempat teraman bagi kami. Lebih terisolasi, tapi lebih hangat dan stabil. Kita tidak pernah tahu kapan makhluk-makhluk di luar sana akan mengamuk.” Kata nenek tua. Nenek tikus. Pakaiannya seperti piyama dengan tudung kepala khas seorang nenek.

Aku meletakkan cangkirku ke meja. 

Aku tidak takut. Sekarang, ataupun tadi, saat banteng raksasa menerobos pepohonan untuk mencari jejakku. Saat Pijakanku runtuh dan tubuhku jatuh terjerembap, atau saat dikerumuni tikus-tikus tanah. Yang juga berukuran besar.

Aku memang bukan orang yang penakut, tapi itu bukan alasan yang cukup untuk tidak merasa takut. Buktinya, setelah mengalami semua itu aku tetap pingsan.

Lihat selengkapnya