“Astaga.. Bagaimana mungkin alarmku tidak menyala!” Sejak bangun aku tidak berhenti mengeluh. Bibi Ellie membantuku menyiapkan semuanya, membantu banyak.
“Tentu saja karena baterainya habis. Jam mu mati.” Aku terburu-buru mengikat tali sepatu. Bibi tidak kalah sibuk denganku, duduk di meja makan sambil menyiapkan kotak bekal. “Hari ini mau sarapan di rumah atau dibawa?” Tanyanya.
“Aku tidak mungkin sempat makan.”
“—Yayaya. Jangan lupa memakannya di sekolah ya,”
Aku menjawab bibi dengan pipi yang mengembung, dan bibir yang mengerucut. Kan, ada yang jauh lebih penting dari makanan. “Kenapa bibi tidak membangunkanku?”
“Oh, sayang.. Tidurmu sepulas itu mana mungkin aku bangunkan?”
Tuh, kan. “Jadi bibi tidak masalah kalau aku dihukum karena terlambat, ya?”
“Ahaha! Tentu saja bukan begitu. Guru mana sih yang tega menghukum muridnya hanya karena terlambat? Jahat sekali..”
“Lagipula,” Lanjutnya. “Tidak masalah kalau kau tidak masuk satu atau dua hari. Kau tidur dengan pakaian seperti orang kedinginan, jadi aku khawatir kau sakit.”
Mengingat itu hanya membuatku semakin sakit kepala.
Aku menyerah. Tidak punya waktu untuk melanjutkan perdebatan ini. Tanganku cekatan memasukkan semua barang di atas meja ke dalam tas. Termasuk kotak bekal. Aku mengambil jaket di gantungan sambil berjalan ke pintu, berpamitan pada Bibi Ellie
Lalu setengah berlari keluar ke jalan. Menuruni deretan anak tangga sempit keluar gang.
Waktuku sampai bel masuk tinggal lima menit, tapi aku menyempatkan diri berbalik mundur ketika tanpa sadar melewati pertigaan jalan yang ditempati tiang listrik dan lampu. Mataku mencari sosok guardian.
Dia tidak ada.
Aku melanjutkan langkahku dua kali lebih cepat. Tak peduli walaupun sadar earphoneku tertinggal. Ini seharusnya menjadi rekor pertama karena berhasil sampai di sekolah dalam tiga menit. Saat aku masuk kelas, jam raksasa sekolah baru berdentang. Disusul bel masuk.
Aku selamat.
Setidaknya dari satu masalah.
***
Tapi dalam satu hari, bertambah banyak sekali masalah baru yang adalah tumpukan pertanyaan dalam kepalaku. Karena sepertinya.. Aku habis melewati mimpi yang aneh. Aku tidak tahu dari mana mimpi itu dimulai, aku bahkan tidak ingat kapan aku tertidur. Kunci jawaban dari semua masalah ini adalah Guardian. Tapi, aku tidak menemukannya.
Aku melewati satu hari lagi yang tak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Istirahat makan siang, mengikuti kelas secara pasif, praktik olahraga, dan berkomunikasi dengan para roh.
Bedanya kali ini, aku sama sekali tidak memblok percakapan dengan mereka. Tapi aku memotong bertanya ke setiap roh yang kutemui, Di mana guardian? Apa kalian melihatnya? Kapan dan di mana terakhir kalian melihatnya. Semua itu mengarah pada satu kesimpulan.
Tidak ada yang bertemu dengan Guardian sejak hari ini dimulai.
Bertemu sore lagi, kakiku melangkah pulang dengan cepat. Bertanya-tanya apakah sekarang guardian sudah ada di tempatnya, di bawah lampu pertigaan jalan.
Aku menghembuskan napas lirih saat melihat bagian jalan itu sepi. Bahkan jadi terasa lebih sepi dibanding sebelum dia ada di sana.
Kakiku yang berhenti lanjut melangkah. Hari ini, aku yang mungkin berharap sesuatu yang berbeda terjadi, harus menganggap semua kejadian itu mimpi.
Seperti dulu.
***
Cahaya bulan berpendar samar dari langit dan menembus kaca jendela. Jendela kamarku. Pukul sembilan malam, setelah makan bersama Bibi Ellie, Paman Alfred dan Kakek Horrest. Aku dengan cepat beradaptasi kembali dengan kehidupan normalku. Ikut mengobrol dan bertepuk tangan ramai mendengarkan permainan musik. Tertawa melihat pertengkaran kecil mereka.
Setelah masuk waktu tidur, seperti biasa aku mematikan lampu dan berbaring. Aku yang beberapa waktu lalu baik-baik saja kini kembali termenung. Cahaya kebiruan langit malam menyusup melalui kaca jendela dan masuk di antara lamunanku.
“Ayo tidur.” Kataku pada diri sendiri. “Siapa tahu kita akan dapat mimpi yang bagus malam ini.”
Suara yg berat menyahut saat tanganku menarik selimut. “Mati dilindas banteng liar itu termasuk mimpi yang bagus atau tidak?”
Tanganku berhenti. Kepalaku yang bergerak cepat.
“Guardian!?”
Makhluk itu sudah berdiri di sudut kamarku, dengan penampilan familiarnya yang berkepala marmut, dan tubuh tinggi-besarnya yang ditutupi jubah bertudung. Aku terburu-buru menyingkirkan selimut dan berniat untuk datang padanya. Tapi seperti biasa, karena terlalu terkejut, aku hanya bisa membeku.
“Kenapa kau ada di sini!?” Suaraku nyaris memekik. Aku pikir dia penunggu lampu jalan.
“Kau mencariku seharian sampai seperti itu, mana mungkin aku tidak datang.”
“Kau mengetahuinya?”
“Semua orang tahu.” maksudnya para roh. Keberadaan guardian pasti jadi topik terpopuler hari ini karena hanya itu yang kutanyakan pada setiap roh yang kutemui.
Sebelum bertindak impulsif seperti sebelumnya, aku berinisiatif meraba permukaan selimut. Memastikan jari-jariku terasa dengan baik saat menggenggam dan membuka. Aku juga meraba irama jantungku dan merasakan intonasi napasku yang teratur.
“Ini bukan mimpi,” Guardian mengetahui apa yang sedang kupastikan.
“Lalu stasiun kereta di hutan salju—“
“Kau boleh menganggapnya mimpi.” Demi, demi mendengar sepotong kalimat itu, aku mengembuskan napas tidak percaya. Setelahnya, suaraku keluar lebih lirih dari yang kukira.
“Semuanya terasa sangat nyata,” Bisikku. “Lebih nyata dari Lucid dream.”
“Aku bisa mengingat dinginnya, aromanya, perasaan lelah karena berlarian.. Aku bahkan bisa mendengar degup jantungku yang berpacu saat bertatapan dengan monster.”
“Itu karena semua itu memang nyata.”
“Tapi kau bilang—“
“Mimpi yang nyata.”
Udara terasa ganjil saat guardian mengatakan itu. Walau aku tak mengerti sepenuhnya.
“Apa maksudmu?”
Aku menatapnya serius.
Dan guardian menghirup napas panjang. “Coba tebak.. Ada banyak makhluk berbeda yang kau temukan lalu lalang di kehidupanmu tanpa sehari pun alpa.
“Memangnya kau pikir mereka datang darimana?”
***
Guardian tidak berbohong.
Tempat yang pernah kupijak itu nyata. Tersembunyi di balik aksesoris tidur yang bernama ‘mimpi’. Aku menyebutnya dunia mimpi. Dunia tempat para roh berasal. Dunia yang terasa sama anehnya dengan mereka. Tempat serpihan tipis salju turun sepanjang masa, latar yang ditimpa warna langit yang selalu putih, para buaya pengangkut barang di stasiun kereta abad pertengahan, dan makhluk-makhluk yang terlihat seperti penghuni negeri dongeng.
Dan aku, bebas berkeliaran bolak-balik ke dunia itu. Lewat mimpi.
Setelah hari itu, aku selalu datang ke sana setiap malam. Tanpa perlu repot-repot bersentuhan dengan bintik cahaya. Entah mengapa, saat aku terlelap di ranjang jiwaku sudah menyeberang ke sana. Lalu pulang di pagi hari dengan dua cara; mati dibunuh monster, atau saat alarmku berdering dan membuat kesadaranku kembali.
Guardian secara otomatis menjadi pemanduku. Dengan alasan yang lagi-lagi tidak kami mengerti, aku bisa berhubungan dengannya lewat telepati. Ini sangat keren! Karena kapan dan di mana pun aku bisa memanggilnya. Dan dia mau-mau saja walau satu-dua kali pura-pura tidak mendengar.
Kami cepat sekali akrab. Terlalu cepat malah. Mungkin karena ritme frekuensi percakapan kami meningkat banyak. Walau sebagian isinya hanya hal-hal abstrak.