“Si pembuat onar!?” | “Cenayang?”
Kami mengatakan itu berbarengan. Lalu sigap melompat bangun berbarengan setelahnya.
“Namaku Mymo / Roen!” Seru kami berbarengan lagi.
Aku sungguh-sungguh menatap orang di sebelahku terang-terangan dari atas sampai bawah. Benar, dia Roen. Teman sekolahku. Biang onar dari kelas lain yang terkenal sejak kejadian meledakkan laboratorium IPA. Setelah itu, dia tetap bersekolah memasang wajah tebal seperti biasa karena keluarganya yang kaya raya membereskan semuanya. Mungkin, keluarganya juga yang membuat dia bisa mempraktikkan berbagai pelanggaran lain dengan santai. Mungkin..
“Kenapa kau bisa ada di sini?” Tudingku. Roen membersihkan salju di kepala.
“Kau berlari ke dinding di jalan buntu, tentu saja aku menarikmu, apa kau gila??”
Hah?
“Tapi, hey!! Ini lebih gila! Tempat apa ini?”
Roen masih mengacak-acak rambut cokelat gelapnya—yang biasanya memang berantakan—untuk menepis salju, menatap nanar ke sekeliling. Aku memutar bola mata malas. Ya sudahlah.. Toh, saat bangun nanti dia tidak akan ingat apa pun.
Badanku balik kanan. “Aku pergi.”
Dia terburu-buru menyusulku, “Kau mau ke mana?”
Hm.. Rasa lapar ini datang lebih cepat dari dugaan. “Mencari makan.”
“Sebenarnya aku juga lapar. Boleh aku ikut?” Alisku mengernyit heran melihatnya memegang perut. Kenapa anak konglomerat bisa merasakan lapar? Untunglah pertanyaan itu hanya tersangkut di tenggorokan.
“Baiklah. Ayo.”
Kami melangkah dengan latar musik suara sepatu boatku. Aku yang memimpin di depan. Rasanya sedikit canggung, tapi berhasil kutepis dengan pikiran, ‘Apa yang perlu kuperhatikan? Orang ini tak akan ingat apa-apa setelah pagi datang.’
“Wow..” Decaknya di belakangku saat kami melihat pemandangan dari turunan. Suaranya terdengar seperti upaya untuk mengusir canggung juga.
“Apa ini? Apa aku salah paham mengira kau sempat membius dan menculikku ke luar negeri?”
Pfffftt. Tawaku tersembur. “Kau itu orang terakhir di dunia yang akan kuculik.”
“Siapa tahu saja, sekarang aku memang sedang dalam sesi terakhir.”
Aku menggeleng-geleng tanpa menoleh ke belakang. Hanya sebatas itu rasa canggungnya? Hanya butuh waktu dua menit untuk membuat sifat konyolnya muncul.
“Ternyata kau bukan cenayang, ya.”
Aku langsung balik badan melihatnya. Dia orang pertama yang berkata begitu setelah bibi Ellie, paman Alfred, dan kakek Horrest.
“Ternyata kau penyihir!” Bahu tegakku turun. Ish.
“Kau sedang menyihirku? Atau kota kita?”
“Menyihirmu.Tepatnya akal sehatmu.”
Dia menyeringai, “Jadi gila tak seburuk yang ku kira.” Karena dari dulu kau memang gila.
Kami melangkah menjejaki padang salju ini. Tentu saja ke arah lereng yang bersambung dengan stasiun kereta, setelah jembatan kayu melengkung yang merupakan perbatasan. Gerbang masuk ke tempat lebih banyak makhluk tinggal. Termasuk para monster.
“Bagaimana kita bisa sampai ke sini?” Roen mulai gatal bertanya.
“Dengarkan aku.” Kami berhenti. Aku pun berbalik.
“Ini hanya mimpi.”
Roen melongo. Mengacak rambutnya untuk meraba serpihan es, dan mencubit lengannya sendiri. “Dingin, tapi tidak sakit,” Lapornya. Lalu dia bergumam, menerka-nerka bahwa kulitnya mungkin sudah mati rasa karena dingin.
“Aku memang cenayang.” Ucapku (Berpura-pura) serius. “Kalau kau terus mengoceh menanyakan bagaimana cara sampai ke sini, portalnya akan lenyap dan kita tidak bisa kembali. Kau mengerti?”
Dia mengangguk polos. Baiklah!
“Ngomong-ngomong..”
Aku memutar bola mata. Diamlah.
“Tentu saja aku heran. Aku sangat ingat, di kota kita harusnya sedang musim semi. Langit di atas sana tak terlihat seperti langit buatan.”
Ya. Dia tak bisa menahan rasa penasarannya sehingga laboratorium IPA milik sekolah meledak sebelum ujian tahun pertama.
“Dengan kata lain, suhu yang rendah ini juga nyata.”
Benar.
Benar?
Aku balik badan lagi dengan cepat. Melihatnya memeluk diri sendiri dan menggosokkan tangan. “Bodohnya aku.” Kenapa aku tidak menyadari suaranya yang mulai bergetar? Di sini dingin, dan dia yang berasal dari dunia yang diselimuti musim semi tentu tak bisa bertahan dengan hoodie pucat itu.
“Ikuti aku.” Aku menarik tangan bekunya menjauhi lereng, ke rerimbunan pinus yang lebih rapat. Seharusnya, beberapa potong mantel bulu hangat tersimpan di sini. Untuk jaga-jaga.
Ketemu. “Pakailah.”
Roen mengangguk. Bernapas lega setelah sepotong mantel milikku dengan ukuran agak besar melekat padanya. Rona wajahnya kembali utuh dengan sepaket sarung tangan, kaus kaki dan boat.
“Terima kasih,” Desahnya lega.
Aku mendengus tersenyum.
“Dinginnya hilang, tapi rasa lapar yang sempat ku lupakan datang lagi.”
“Ya, begitulah. Sama saja seperti di Mouahen, kita harus bekerja agar bisa makan. Kita belum melakukan apa-apa.”
Roen terkesiap melihatku mengeluaran busur panah di antara lipatan mantel dan daun-daun. Rerimbunan ini memang sudah seperti markasku. Sementara senjatanya, kudapatkan dari kediaman keluarga tikus tanah yang ku kenal baik.
“Kita tak perlu menunggu lama. Bidikanku lumayan.”
“Wow!”
Aku berjalan cepat dan Roen mengekor di belakang. “Tadi kau bilang apa? Mouahen?”
“Tempat kita berasal.”
Dari balik pohon, aku melihat kumpulan burung Layang-layang di atas dahan yang lebih tinggi. Aku meyebutnya begitu karena mereka memang mirip burung Layang-layang. Semua makhluk di sini ku lihat sebagai ‘Bagian yang paling mirip dengan duniaku’. Terlalu banyak makhluk, dan nama-nama yang kudengar dalam lima belas hari terakhir.
Berjongkok sebentar, aku menargetkan salah satu kepalanya di lubang bidikan. Suara anak panah yang menancap keras terdengar, disusul suara jatuh, dan kepak sekawanan yang bubar menjauh.
“Jangan khawatir. Satu lagi akan kita dapat segera,” Kataku sambil menggantungkan busur ke punggung. Roen mengerjapkan mata. Aku memungut satu burung sekepalan tangan yang sudah lemas, mencabut panah besinya. Tak ada noda darah yang menetes sedikit pun, dan makhluk ini sudah tewas.
“Bagaimana kita memasaknya? Menyalakan api di suhu minus empat puluh derajat tidak mudah.”
Memasaknya? Aku sempat melihat ke buruan dalam genggamanku sesaat.
Kita tidak bisa mengonsumsi sembarang makhluk di Firrin. Selain karena suhu, aku tahu bahwa saat nyawa habis, Mun akan mati dengan cara ‘hilang’. Tubuh mereka melebur dan menguap di udara. Hilang begitu saja.
Secara garis besar, Makhluk Firrin terbagi dua; Mun hidup dan Ahara. Mun adalah makhluk yang bisa berbicara dalam bahasa yang dipahami manusia, sementara Ahara tidak. Peran mereka sebagai makanan alami para Mun—dan manusia(?). Yang kutangkap ini sudah jelas Ahara karena tubuhnya masih ada. Ini bukan perburuan pertamaku.
Berkeliling lagi mencari Ahara lainnya, kemudian mendapatkan Fishon kecil dari bawah lapisan air. Ikan berwarna cokelat keemasan dengan sirip berkilau. Roen beberapa kali mengeluarkan suara napas tercekat. Masih terpukau melihat hal-hal yang ku lakukan. Kami kembali ke ‘markas’ku.
“Ternyata kau punya panci!”Seru Roen saat barang itu kukeluarkan dari tempat yang seperti laci penyimpanan ini. Penyimpanan yang berantakan tapi aman dari luar.
“Kita akan membuat api? Atau kau bisa menjentikkan percikannya dengan jarimu?”
“Aku ini cenayang, bukannya Avatar.”
“Apa itu Avatar?”
“Film kartun yang ditonton anak-anak normal. Yah.. Aku mengerti sih karena kau anak dari keluarga kaya.”
Ekspresinya seperti mengatakan ‘Apa hubungannya?’. Aku jadi berpikir.. ‘Iya ya apa hubungannya?’. Tapi aku tak peduli.
“Aku mungkin terlalu sibuk belajar, tidak banyak melirik televisi,” Gumamnya sambil mengangkat bahu. “—Kau bisa memasak?” Dia lompat bertanya hal lain.
“Tetanggaku bilang aku cukup pandai.” Aku berusaha agar terdengar merendah.
“Itu bagus. Berarti tugasku menyalakan api.”
Roen tak memerlukan banyak waktu untuk membuatnya dengan kayu dan batu. Ini pertama kalinya dia membuatku terkesan dalam makna yang positif, setelah sering kali mempertunjukkan kemampuan memanjat dinding sekolah sehingga para Mun berkerumun di mejaku dan kami terheran-heran bersama menontoninya.
“Jadi! Seperti apa aku harus mengatur apinya?” Aku sedikit tersentak seperti baru tersadar. “Itu cukup.”
Lalu ku keluarkan rempah yang ku kumpulkan selama ini dari bungkusan daun. Asap membumbung di langit yang tadinya putih. Aroma menyenangkan mulai semerbak, disambut suka cita oleh indra kelaparan kami. Berdua duduk berhadapan menikmati daging yang telah ku ‘sihir’ menjadi hidangan sup. Sisa-sisa baranya sejenak meredakan serangan dingin.
Untunglah, ini tempat yang aman dari para monster karena kami belum melewati jembatan. Dari sini, sejauh mata menerawang hanya ada tumpukan salju dan barisan pohon pinus. Dataran sama yang dipisahkan sungai, bermil-mil panjangnya. Aku bahkan curiga sungai ini tak berujung. Kalau mau melihat sesuatu yang berbeda, kau harus masuk melewati jembatan. Tapi sebelum petualangan dan perkelahian itu, tentu kami harus mengisi perut dengan tenang tanpa gangguan.
“Apa rencanamu setelah ini?” Roen memulai pembicaraan setelah keheningan panjang. Tak ada lagi rasa canggung, hanya keheningan yang nyaman untuk makan. Aku berpikir. Berenang dengan Lumba-lumba ekor botol? Memanjat menuruni pohon Sitrus yang tumbuh ke dalam tanah? Atau hanya bermain ski di danau beku? Aku menghapus keluarga Tikus dari rencana ‘malam’ ini. Entah kenapa, kehadiran Roen membuat moodku bertemu mereka berganti.
“Sejujurnya, aku tak punya rencana bersamamu. Kalau kau begitu penasaran, jalani saja permukaan es ini sendirian.” Aku meletakkan sumpit kayu. Tanda selesai makan.
“Apa aku tidak boleh mengikutimu?”
“Kenapa aku harus memperbolehkannya?”
“Karena.. Sepertinya, kau bisa menunjukkan lebih banyak dari yang bisa kulihat tanpamu.” Dia jujur sekali. Dan terang-terangan terasa merepotkan.