PULANG KE SOLO, DAN KISAH-KISAH TENTANG POLITIK KEMALANGAN

Ariyanto
Chapter #1

POLITIK KEBAHAGIAAN

Jakarta, 20 Oktober 2014

Kotak tabung kaca ukuran 14 inch yang kuletakkan di atas meja tua peninggalan orangtuaku itu mengabarkan kegembiraan kepadaku. Tentang sosok laki-laki, yang kepadanya kutanamkan harapan-harapan baik serupa masa depan yang cerah. Serupa limpahan sinar matahari dan hujan yang pas porsinya, demi membuat petani bahagia saat panen tiba.

Siaran televisi hari ini menyisakan kelegaan bagiku. Calon presiden yang kugadang-gadang dan kucoblos saat Pemilu Presiden kemarin, akhirnya dilantik secara resmi menjadi orang nomor satu di negeri ini. Orang yang semasa tinggal di Solo cukup aku kenal. Bangga tentu saja, meskipun kata orang Jawa kenalku hanyalah “kenal-kenal kebo” yang artinya kami hanya mengenal di tingkatan lapisan terluar, yang hanya sebatas saling mengenal, bukan berkarib, berbicara bila memang diperlukan saja dalam konteks hubungan profesional. Apapun, aku tetap bangga. Berapa besar probabilitas seseorang mengenal orang lain yang menjadi pemimpin suatu negara? Tak banyak. Dan aku beruntung menjadi sedikit dari orang-orang itu.

Meskipun aku lega menyaksikan pelantikan itu, tak urung aku harus benar-benar menahan diri. Aku mengecilkan volume televisi di level di mana aku bisa mendengarnya hanya dari jarak dua tiga meter saja. Jangan sampai volumenya terlalu keras dan menembus dinding tembok kamar di mana istriku tengah bermuram durja. Iya, istriku sedang senewen karena calon presiden yang didukungnya kalah.

Sejak pagi, dia -istriku yang cantik dan tercinta- muring-muring atas pelantikan bersejarah ini. Tetapi kemarahannya tak seseram saat calon presiden pilihanku menang hitung cepat pada hari coblosan beberapa waktu lalu. Saat itu dia begitu syok. Aku tahu, istriku sakit hati. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun, meskipun sekadar menghiburnya misalnya. Karena sejak aku dianggapnya sebagai orang yang berseberangan dengannya dalam hal pandangan politik, maka tak ada satu kata pun dari omonganku yang bakal ditelannya. Setiap kataku seperti tuba baginya.

Aku tidak merayakan “kemenanganku” dengan suka cita yang berlebihan. Bahkan aku memasang wajah muram dan menghindari tersenyum apalagi tertawa saat di depan istriku, layaknya orang yang tengah berduka. Aku harus benar-benar mengerti dan bertoleransi pada suasana hati dia yang tengah berduka. Sebenarnya kalau dipikir-pikir memang lucu. Aku juga tak bisa memahami kenapa istriku bisa terguncang sehebat seperti ini. 

Di sisi lain, ada perasaan membuncah yang ingin meletup dari hatiku. Semacam kegirangan yang kutahan-tahan. Kadang aku bersorak “Yes!!” tapi dengan suara kuredam. Aku membayangkan diriku berada di tengah kumpulan orang-orang yang mendukung calon presiden yang dilantik hari ini, lalu kami merayakan dengan makan bersama dan tertawa tiada henti hingga aku tersedak kegirangan. Kadang heran dengan perasaan ini, kok bisa ya … hanya karena calon presidenku akhirnya terpilih dan dilantik, bisa menimbulkan kebahagiaan seperti ini? Tapi nyatanya memang begitu yang kualami saat ini.

Istriku menganggap sikapku yang mendukung mantan wali kota sebagai calon presiden adalah aneh, mengingat aku kerap menghajarnya dengan berita-berita saat aku masih jadi wartawan di Solo. Tetapi bagiku, sebenarnya aku melihatnya dari dua sisi, yaitu memisahkan dia sebagai pejabat publik yang perlu dikritisi dan sebagai pribadi yang menurutku adalah sosok yang membumi dan egaliter. Di sisi lain, aku memiliki ikatan emosional sebagai sesama warga Solo, sementara istriku tidak karena dia asli Purwokerto.

Aku percaya, seperti halnya uang, politik adalah salah satu sumber kebahagiaan. Rakyat menanam benih-benih harapan baik akan sebuah negara yang demokratis, dengan pemerintah yang bekerja secara baik tanpa ada korupsi, kolusi, nepotisme, hingga masing-masing warganya menuai bahagia. Setiap orang akan berbahagia mengerjakan tugasnya. Suami-suami berangkat kerja dengan suka cita. Sorenya, ibu rumah tangga menyambut kedatangan suaminya dengan hidangan sederhana tapi berasa pesta. Petani akan tersenyum bahagia dengan panenannya. Pekerja tak sabar menunggu esok untuk bekerja dengan keras, karena hak yang bakal diterima cukup besar untuk mencukupi hidupnya. Pagi-pagi, pelajar berangkat sekolah dengan riang, seperti sekolah adalah wahana bermain luas yang akan mereka datangi. Orang hidup dengan aman, orang hidup dengan tanpa ada pembedaan.

Semua, iya semua, tentu akan berbahagia mengerjakan bagiannya, sesuai porsi dan tugasnya. Demikianlah politik itu adalah salah satu sumber bahagia. Jadi, aku sedih saat itu tak berlaku bagi istriku saat ini, meskipun aku menyadari ketika pemimpin ditentukan secara demokratis melalui pilihan langsung setiap individu, akan ada irisan kekecewaan dari sebagian lain yang pilihannya tak berhasil menang. Lalu pada akhirnya politik adalah sumber kebahagiaan dan sumber kemalangan dalam waktu yang sama. Kulihat istriku berada di bagian irisan mereka yang sedih dan kecewa itu.

 “Serius?”

“Iya. Dilantik hari ini di Jakarta.”

“Wow … tahniah, Gono. Artinya saye pernah jumpa your president … hahaha. Awak ingat tak, istri saye tengah hamil dan didoakan? Saye mahu anak saya kelak juga jadi presiden seperti dia. This is crazy story.”

Balasan dari Norman melalui pesan singkat di Whatsapp itu seperti yang kuharapkan. Setidaknya ada yang ikut senang dengan pelantikan calon presidenku itu. Norman adalah temanku dari Shah Alam, Malaysia. Norman sepertinya tak menyangka bahwa dia pernah bertemu dengan orang yang saat ini menjadi buah bibir di republik ini. Semua media elektronik mengabarkannya, dipastikan besok pun akan menjadi headline di media-media cetak arus utama. Seseorang yang akan memimpin negeri ini lima tahun ke depan.

“I still don’t believe it … wow, saye pernah bersalaman dengan presiden! Wah, saye mahu tengok gambar tuh, saat kita berfoto bersama ... hahaha, saye tak ingat simpan tuh gambar di mana.”

Norman tak paham politik, bahkan politik dalam negeri Malaysia pun tak mampu dia jelaskan dalam kalimat yang sederhana, sehingga lebih sering diskusi politik kami ditutup dengan tampang plonga-plongonya. Kutanya soal Najib Razak, perdana menterinya saat itu, Norman hanya mengangkat dua pundaknya dan berkata, "Tak penting siapalaah ... selama baik buat Malaysia ... saye kerja tenang, tak masalah."

Laki-laki itu lebih suka mencermati lekuk keris-keris kuno yang semakin tua akan terlihat semakin seksi di matanya. Tentang keris kuno itu, dia betah berjam-jam berdiskusi, tapi tidak tentang politik. Atau berdiskusi tentang kisah-kisah kerajaan, tapi tak berminat dengan politik kerajaannya.

“Dia pemimpin yang baguskah?” pesan Norman kembali masuk di handphone.

“Iya, pasti!” balasku singkat dan tegas. Sudah kutebak, Norman tidak akan mengejar dengan pertanyaan sebagus apa pemimpin yang terpilih itu, atau misalnya bagaimana sepak terjangnya selama ini di dunia politik.

Kembali ke hari itu, tahun 2011 ….

Norman mengontakku untuk menemaninya jalan-jalan di Solo. Meskipun sebenarnya aku sudah berdomisili di Jakarta, tetapi kerap bolak-balik ke Solo untuk menengok rumah milik orangtuaku. Kadang menginap tiga hari hingga seminggu untuk bersih-bersih rumah. Norman bersedia menyesuaikan jadwal longgarku sehingga aku bisa menemaninya untuk jalan-jalan di Solo.

Dia datang bersama istrinya yang tengah hamil tiga bulan. Sebagai “sahabat antarbangsa” demikian dia menyebutnya, aku ingin menjadi tour guide terbaik bagi dia dan istrinya. Dia menikmati perjalanan itu karena Norman suka dengan kota kecil yang tak terlalu bising. Solo, kota kelahiranku, adalah pilihan tepat baginya. Dia bercerita, konon leluhurnya adalah keturunan Jawa, lebih tepatnya Mojokerto, sehingga dia bahagia bisa datang ke Solo. Dia tak peduli pada fakta bahwa Mojokerto dan Solo terbentang jarak sekitar 223 km, yang penting sama-sama Jawanya. Meskipun mengaku memiliki moyang Jawa, Norman tak mengenal kata dalam bahasa Jawa kecuali ojo ngono alias jangan begitu. Kakeknya pun tak dia ketahui wajahnya, karena saat dia lahir, kakek neneknya sudah meninggal. Semua hanya berdasarkan cerita kedua orang tuanya. Saat kutanya bagaimana bila ternyata itu bukan fakta? Bagaimana kalau itu hanya kebohongan? Kebohongan turun temurun yang diyakini hingga menyaru menjadi fakta? Dia bilang, tak mengapa. Selama hal itu belum pasti, maka masih ada peluang bahwa itu benar.

Selain ke museum-museum di Solo, aku ajak dia ke night market Ngarsopuro yang buka setiap akhir pekan. Ini adalah program baru dari wali kota untuk mendukung upaya peningkatan kunjungan wisatawan ke Solo.

Lihat selengkapnya