Jakarta, 22 Agustus 2024.
Hari ini kelabu. Bukan, aku tidak sedang berbicara tentang kemuraman hati. Tapi udara Jakarta ini seperti benar-benar diselimuti asap setiap hari, engap rasanya dan langit biru tak nampak jelas. Aku bayangkan, anak-anak TK yang sekolah dan tumbuh di Jakarta saat ini tak memerlukan lagi pensil warna biru untuk menggambar langit. Pabrik-pabrik pensil warna menghilangkan warna biru cerah karena tak diperlukan lagi. Karena memang begitulah langit kota mereka saat ini. Ditambah terik matahari, maka ini adalah kombinasi yang pas sebagai alasan bagi orang untuk malas gerak.
Tapi aku dengar hari ini akan ada aksi unjuk rasa besar-besaran di gedung DPR, tak jauh dari area tempat tinggalku di Bendungan Hilir. Semalam, Jose, keponakanku yang selalu merevisi pelafalanku saat menyebut namanya –harusnya ‘Hose’ bukan ‘Jose’- berkabar bahwa akan ada aksi besar berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat untuk menolak Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah alias UU Pilkada. Jose, dalam Whatsapp-nya tak memerinci itu apa. Tetapi setelah pesan itu, aku akhirnya membuka portal-portal berita di handphone untuk mencari tahu. Di sosial media, ternyata gerakan memasang foto bergambar Garuda dengan latar biru tua dengan tulisan ‘Peringatan Darurat’ digaungkan dan banyak sekali yang memasangnya sebagai foto profil maupun sebagai materi postingan. Kucoba mengikuti alurnya untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Kesibukanku sebagai pengusaha membuatku kadang kurang update dengan situasi terkini. Padahal, dulu politik adalah aku banget.
Salah satu portal berita menuliskannya dengan tegas dan mengusik hatiku. Bunyinya seperti ini, “Revisi UU Pilkada akan membuka jalan bagi putra presiden untuk maju dalam pemilihan kepala daerah pada November mendatang. Ada upaya dari DPR yang berencana membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi melalui revisi UU Pilkada itu.”
Aku mulai memahaminya dan mempelajarinya lebih dalam. Tak pernah kuperkirakan hal seperti ini terjadi, sehingga membuatku sedikit gagap untuk mengerti. Tentu bukan sepenuhnya salahku, karena yang kudengar, DPR memang sengaja bergerilya agar aksi mereka tak terendus masyarakat. Pokoknya tahu-tahu ketok palu saja. Ada dugaan terjadi permufakatan jahat dalam upaya pelanggengan kekuasaan. Tipikal orang-orang yang duduk di DPRD maupun DPR ya begini ini, polanya selalu sama dari zaman aku masih jadi wartawan, bergerak mengendap-endap supaya tak tercium masyarakat sebagai upaya memuluskan kepentingannya.
Aku mencoba mencermati benar apa yang sebenarnya terjadi karena memang situasi darurat ini terjadi begitu cepat. Aku merasa butuh tahu kenapa Jose dan teman-temannya harus turun ke jalan, dan sepertinya ini tak hanya dilakukan di Jakarta, tetapi juga akan ada aksi unjuk rasa mahasiswa besar-besaran di berbagai kota besar di Indonesia. Padahal, sebelumnya tak ada satu informasi pun dari Jose bahwa dia akan berunjuk rasa. Tak ada dalam hitungan dua hari sebelumnya, seminggu sebelumnya, tapi mendadak mau demo saja. Pasti memang sedarurat itu.
Kubaca, ada dua pasal di Revisi UU Pilkada yang bikin masyarakat sipil marah. Pasal 7 tentang syarat usia minimum calon kepala daerah dan Pasal 40 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah. Pasal ini direvisi sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengetok palu untuk dua gugatan terkait Pilkada 2024, yaitu gugatan dengan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024 pada 20 Agustus 2024.
Pada putusan Nomor 70, MK mengubah syarat usia minimal 30 untuk cagub dan cawagub pada Pasal 7 UU Pilkada menjadi terhitung sejak penetapan. Ketentuan ini berbeda dengan putusan MA yang menginginkan aturan tersebut dihitung sejak pelantikan.
Sementara melalui putusan nomor 60, MK mengubah ketentuan dalam Pasal 40 UU Pilkada. MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. MK juga menurunkan ambang batas untuk syarat pengusungan calon kepala daerah bagi semua partai. Setelah keputusan ini diketok palu, saat itu juga revisi dilakukan dan ngebut, di mana pembahasan oleh Badan Legislasi atau Baleg DPR dilakukan hanya dalam tujuh jam saja.
Buset! Emang dikejar apa sih, buru-buru amat! Batinku.
Dalam Pasal 7 terkait syarat usia minimal calon kepala daerah, Baleg menyepakati untuk mengikuti rujukan dari putusan MA. Mereka ingin ketentuan usia minimum dihitung sejak pelantikan calon, bukan penetapan pendaftaran.
“Hmmm, fishy banget. Apa ada udang di balik batu? Lagian ini sudah diputuskan MK lho,” gumamku.
Kemudian pada Pasal 40 UU Pilkada, Baleg menambah ketentuan dari putusan MK. Baleg ingin ketentuan ambang batas yang lama sebelum putusan MK tetap diterapkan untuk parpol yang mempunyai kursi di DPR. Sementara itu, ketentuan ambang batas yang telah diturunkan MK hanya berlaku untuk partai yang tidak mempunyai kursi di DPRD.
Aku mulai menangkap kenapa harus ada aksi untuk menggagalkan upaya-upaya menginjak-injak konstitusi yang dilakukan pihak-pihak tertentu ini. Ah, kalau aku masih mahasiswa, aku pasti juga akan turun ke jalan mengawal persoalan ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, setelah riuh Pemilu Presiden 2014, aku memang berusaha sebisa mungkin mengerem libido bicara politik, yang dulu semasa aku menjadi mahasiswa maupun jadi wartawan seperti tak pernah bisa kurem, losss doolll. Tetapi hancurnya biduk rumah tanggaku mengajarkanku untuk lebih mengerem, lebih tenang, dalam memahami situasi politik. Ditambah, lingkunganku cenderung apatis soal politik. Lingkunganku sekarang memang benar-benar lingkungan pebisnis, yang setiap hari memikirkan target, memikirkan angsuran utang, memikirkan gaji pegawai, hingga memikirkan daya beli masyarakat yang setiap hari terasa makin rendah. Tak ada yang bicara politik.
Sebelum kemudian keponakanku tercinta, Jose, semalam ujug-ujug minta doa untuk aksi unjuk rasa yang akan dia ikuti hari ini. Pagi tadi dia kembali mengirimkan Whatsapp ke aku. “Om, ndak usah kemana-mana dulu. Udah di rumah aja memantau di TV,” ketik Jose di pesannya. Jose mengaku akan berada di barisan depan mahasiswa Universitas Indonesia yang ikut melakukan aksi unjuk rasa. Ini adalah aksi unjuk rasa besar pertamanya, sejak dia masuk kuliah di Universitas Indonesia dan mulai aktif di kepengurusan badan eksekutif mahasiswa (BEM) FISIP UI, meskipun hanya sebagai anggota.
Anak itu keras. Dia kerap mempersoalkan hal-hal yang mungkin bagi anak lain tak dipedulikan. Saat SMA, suatu hari pernah dia “mendudukkanku” di ruang tamuku, lalu mencecar pertanyaan kenapa gaji mingguan Puguh belum dibayar? Puguh adalah pegawaiku. Ada masa di mana usahaku sepi dan banyak pelanggan yang belum melunasi tagihan. Puguh yang kubayar mingguan kuajak bicara tentang kemungkinan dia memberi toleransi kepadaku untuk menunda seminggu pembayaran gaji mingguannya karena aku memang benar-benar terpepet. Puguh bilang tak apa-apa demi kebaikan bersama. Itu pun hanya terjadi sekali selama dia menjadi anak buahku. Di luar dugaan, Puguh ternyata meminjam uang kepada Jose untuk beli rokok. Dia spontan bilang belum digaji olehku.
“Om nggak bisa begitu. Puguh sudah bekerja seminggu penuh, kalau waktunya bayaran ya selesaikan hak dia. Ingat ya, Om … bayar upah sebelum keringat kering,” kata Jose waktu itu yang membuatku mati kutu. Akhirnya, aku menemui bapaknya Jose alias kakaku untuk meminjam uang.
Jose bisa tiba-tiba meminta aku menghentikan motor saat kubonceng, hanya karena dia melihat pedagang yang sudah tua. Lalu dia membeli dagangan pedagang itu, tak peduli dia membutuhkan atau tidak. Seperti saat tiba-tiba dia membeli tiga sapu lidi dari penjual yang sudah renta. Saat kutanya buat apa beli tiga? Jose jawab, biar uangnya bisa membeli makan penjualnya dalam waktu lebih lama. Dia melakukannya tanpa pernah meminta izin atau pertimbangan dari aku. Sikap-sikap moral keponakanku ini terbawa hingga dia dewasa dan masuk bangku kuliah. Sejak awal saat aku selalu memuji prinsipnya sebagai mahasiswa yang peka terhadap suara masyarakat, dia selalu menampik dan menolak pujian itu.
“Ini bukan pencapaian, tak perlu dipuji. Tapi ini perjuangan,” tepisnya.
Alih-alih bercerita kepada bapaknya, dia selalu memilih aku sebagai tempat berdiskusi dan curhat seputar aktivitasnya di pergerakan mahasiswa. Ini karena dia tahu rekam jejakku saat mahasiswa dulu. Kata Jose, dia sudah menemukan mentor yang tepat di luar bapaknya, yaitu aku. Biarkan bapaknya rajin cari duit tanpa memikirkan hal-hal lain seperti kegiatan anaknya, karena kata dia perjuangannya juga butuh biaya. Bila sudah begitu, bapaknya akan mencari informasi kegiatan anaknya di kampus dari aku.
Bergabungnya Jose dalam aksi unjuk rasa di gedung DPR mengkhawatirkanku. Sebagai paman, aku was-was juga, karena dari pantauanku ekskalasi penolakan dan seruan untuk menolak RUU Pilkada ini semakin meningkat. Banyak yang mengkhawatirkan ini akan menjadi aksi unjuk rasa yang panas bila DPR ngotot akan mengesahkan RUU Pilkada itu. Aku bisa memperkirakan ini akan menjadi aksi besar karena satu hal: isu yang dibawa adalah isu kemanusiaan yang menyentil hati banyak orang. Mustahil mengabaikannya bila ini sudah melukai rasa kemanusiaan orang.
Aku tak bisa melarang Jose untuk tidak ikut unjuk rasa. Jose adalah wujud kekinianku. Sama seperti keresahanku pada kondisi sosial politik di tahun 1998 yang membuatku nekat untuk turun ke jalan dan mengabaikan larangan bapak dan ibu. Karena alasan itulah aku tidak bisa melarang Jose berunjuk rasa. Masku, alias bapaknya Jose, berulang meneleponku dan meminta aku membujuk Jose untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik yang berlebihan. Dia ingin Jose fokus kuliah, lulus cepat, lalu meneruskan usaha mebelnya.