PULANG KE SOLO, DAN KISAH-KISAH TENTANG POLITIK KEMALANGAN

Ariyanto
Chapter #3

REBUNG TAK JAUH DARI RUMPUN

Jakarta, 23 Agustus 2024 dini hari.

Aku tak mau lama-lama di kantor polisi dan tak mau menerima tawaran - entah siapa yang menghampiriku tadi di kantor polisi - untuk membawa Aal ke rumah sakit. Tak kuhiraukan tawarannya dan aku fokus mendampingi anak laki-lakiku. Melihat kondisi Aal yang relatif baik secara fisik, aku langsung mengajaknya pulang naik motor, tentu setelah semua urusan administrasi di kepolisian yang nggak penting itu kuselesaikan. Ini seperti upayaku untuk membawa Aal sejauh mungkin dari area polisi atau apapun itu yang terkait ricuh unjuk rasa di gedung DPR. Menurutku, Aal terlalu muda untuk menjalani semua proses ini, karena usianya bahkan baru 15 tahun lebih beberapa bulan. Aku mengkhawatirkan psikisnya.

Saat menuju ke Polda Metro Jaya tadi pikiran burukku sudah mendominasi karena tadi aku memantau pemberitaan di televisi banyak pengunjuk rasa yang luka-luka. Bahkan ada yang matanya luka parah. Melihat liputan bentrok tadi tak bisa kubayangkan kalau anakku berada di situasi itu. Lalu kubayangkan anakku babak belur, karena aku tahu pasti Aal ini bukan anak bandel yang jago berkelahi. Sejak kecil tak pernah berantem secara fisik dengan temannya. Saat kutemukan dirinya dalam kondisi relatif baik, aku sangat bersyukur.

Aku masih sangat heran dengan apa yang terjadi, bagaimana anak laki-lakiku yang seperti tak mengerti apapun soal politik, tiba-tiba ditangkap polisi karena terlibat ricuh di aksi unjuk rasa yang terjadi di gedung DPR tadi sore. Tapi meskipun dalam benakku berkelebatan banyak pertanyaan, aku tak mau bertanya lebih lanjut kepada Aal dan memilih menunda rasa penasaranku.

Sepanjang perjalanan, Aal hanya diam saat kubonceng. Sejak di kantor polisi, dia meminta jaket yang kukenakan, lalu memakainya dan sejak itu dia selalu memilih menyilangkan tangannya di dada, seperti orang yang menahan dingin. Bagiku, dia terlihat seperti sedang melindungi dirinya dan merasa dirinya tak aman di tempat itu. Aku sedih melihat anakku terlihat seperti ini.

Selama perjalanan, aku terdiam. Aal baru kelas 1 STM dan tak pernah terlintas sedikitpun di benakku dia akan berurusan dengan persoalan seperti ini. Tetapi kata ibunya, dia berkumpul dengan kakak-kakak tingkatnya jurusan otomotif. Apakah di hari biasa dia juga bergaul dengan kakak tingkatnya? Kata ibunya, kadang-kadang. Alasannya adalah, transfer ilmu, yang bagi orang tua ini sesuatu yang tentu terdengar positif. Tapi aku tahu, anak remaja kerap berbohong kepada orangtuanya. Kadang mereka tidak tahu, kebohongan itu akan menuntun mereka kepada sesuatu yang berbahaya. Mungkin bagi Aal, ikut aksi unjuk rasa tidak akan berpotensi menimbulkan dampak serius bagi dirinya. Tapi aku tidak tahu pasti juga, karena aku bahkan tidak menyinggung sama sekali tentang bagaimana dia bisa ikut aksi itu. Aku menunda menanyakan itu.

Ini seperti genetik, saat anakmu tiba-tiba bertindak seperti dirimu saat muda. Aku tak pernah bercerita kepada Aal tentang masa mudaku di kampus yang kerap ikut aksi unjuk rasa. Ini seperti genetik, kurasa, dengan pecahan rekor baru karena Aal melakukannya saat usianya jauh lebih muda dari usiaku dulu. Penjelasan apalagi kalau bukan genetik? Rebung tentu tak akan jauh-jauh dari rumpun.

Tadi, waktu menemukan wajahku muncul di kantor Polda Metro Jaya, kulihat wajah Aal seperti penuh kelegaan. Sebelum aku bisa masuk ke ruangan, dari balik jendela kaca kulihat wajah anak laki-lakiku ketakutan, muram dan resah seperti bingung melihat lalu-lalang anak-anak muda keluar masuk ruangan itu. Yang kulihat tadi, sekilas, lebih banyak mahasiswa yang masih mengenakan jaket almamater aneka warna berada di sana. Anak STM hanya beberapa, termasuk Aal. Beberapa dari mereka seperti menunggu dijemput orangtuanya. Seorang laki-laki paruh baya tampak menghardik anak laki-laki seumuran Aal. Aku merasa itu bukan tindakan yang tepat untuk dilakukan.

Begitu aku bisa masuk dan berhadapan dengan Aal, kurengkuh dia, kupeluk erat. Lengan baju seragamnya sedikit sobek di sisi kiri, entah karena akibat terkena kawat berduri atau karena ditarik anggota polisi. Kuelus kepalanya. Hanya terdengar lirih beberapa kali, “Maaf, ya Pak … maaf.” Aku tak henti mengelus-elus rambutnya tanpa berbicara apapun. Setelah kuselesaikan urusan dengan pihak kepolisian, aku diizinkan membawa Aal pulang.

Dari ruangan hingga parkiran motor, tangan kanan Aal memegang erat tangan kiriku seperti takut aku tinggalkan. Situasi ini mengingatkanku saat pertama aku mengantarkan Aal masuk ke sekolah dasar. Dia menggenggam tanganku berharap aku tidak meninggalkannya. Kupikir anakku terkena mentalnya. Aku tidak tahu bagaimana cara polisi mengambil anakku dari lokasi demo hingga membawanya ke kantor polisi. Aku tidak tahu perlakuan apa yang diterimanya, tetapi begitu melihat dia secara fisik seperti baik-baik saja, aku tak mau mempersoalkan lebih lanjut, setidaknya untuk sementara.

Tapi gengaman tangan anakku saat keluar dari ruangan itu, membuatku berpikir bahwa dia ketakutan dan telah mengalami sesuatu yang traumatik. Aku tak mau bertanya apapun sebelum situasinya benar-benar baik. Saat kucek kondisi tubuhnya secara sekilas tak ada yang mengkhawatirkan, aku segera mengajaknya pergi. Tadi, sempat ada wartawan televisi yang ingin mewawancaraiku, aku menolaknya.

Motorku melaju dengan Aal memeluk pinggangku dari belakang.

“Kamu sudah makan?” itu pertanyaan pertamaku. Kuteriakkan agak lantang karena aku melawan angin. Aku ingin memastikan lambungnya terisi.

“Tadi dikasih roti di kantor polisi. Dikasih mahasiswa,” seru Aal. Aku lega mendengarnya.

“Pak … handphone-ku hilang.”

“Ya? Nggak kedengaran?"

Handphone-ku hilaaang,” ujar Aal menaikkan nada suaranya.

Aku terdiam sesaat, lalu menjawab sekenanya, “Nggak apa-apa. Nanti Bapak belikan lagi.”

Lihat selengkapnya