Jakarta, 23 Agustus 2024 pagi
Jose memarkir motornya lalu dengan cepat menghampiriku yang duduk di teras sejak tadi. Dibukanya helm, lalu menaruhnya di meja teras. Pemuda itu longak-longok ke arah dalam rumah. “Di dalam, Om? Astaga … sejak Om kabari tadi, aku heran lho, Om … kok bisa Aal ….”
“Sssst … jangan keras-keras, nanti dia denger,” potongku cepat. Aku tak mau Aal mendengar kami membicarakannya.
“Oh … lha iya, kok bisa sih, Om?”
“Nggak ngerti. Pusing aku. Kamu yang aku khawatirkan bakal kenapa-kenapa malah aman-aman saja, eh ini anakku sendiri malah bermasalah,” sahutku. Jose mengambil duduk di kursi sampingku, lalu menguncal napas.
“Aku baca berita pagi ini, Om. Kemarin itu sebelum aksi unjuk rasa, ada 159 pelajar yang ditangkap karena akan ikut aksi unjuk rasa. Gimana Aal bisa lolos dan masuk ke lokasi aksi?” tanya Jose heran.
“Lagi-lagi aku nggak tahu. Aku belum nanya-nanya ke anaknya. Rada syok dia, dari tadi dini hari habis kujemput di kantor polisi lebih banyak diem. Coba kamu masuk ke kamar, temui dia. Tapi jangan kamu paksa dia untuk bercerita,” pintaku.
Jose langsung masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamar depan. Aku memilih menunggu di luar. Jose dan Aal tidak terlalu akrab, tetapi hubungan mereka baik. Aku berharap dengan gap umur yang tidak terlalu jauh membuat Aal lebih leluasa bercerita tentang apa yang dialaminya, dari sejak di lokasi aksi unjuk rasa hingga saat polisi membawanya ke kantor polisi. Apalagi bila Aal tahu kalau Jose ternyata juga terlihat dalam aksi unjuk rasa itu.
Aku butuh Aal bercerita karena aku ingin memastikan ke depannya dia tidak sembunyi-sembunyi melakukan sesuatu yang berisiko. Aku ingin tahun siapa teman-temannya, apa motivasi dia ikut aksi unjuk rasa, dan satu hal yang lebih penting lagi aku ingin tahu apakah dia benar-benar paham dengan apa yang dilakukannya. Dengan mengetahui semua, aku berharap aku bisa melindunginya dan melakukan langkah-langkah tepat bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sikap diam Aal saat ini, menurutku, bisa berarti dua hal. Pertama, dia syok dengan apa yang baru saja dialaminya, seperti kata dokter di klinik. Kedua, dia takut aku akan marah dan memberikan hukuman atas perilakunya yang berbahaya.
Hingga saat ini bahkan tak terlintas sedikitpun aku akan menghukumnya. Aku hanya ingin dia memahami apa yang dilakukannya dan berharap dia tahu setiap konsekuensi dari tindakannya. Bila memang kemudian dia mengalami tekanan mental, aku akan coba mencari cara untuk membuatnya lepas dari situasi itu.
“Bubur ayam, Pak?”
Aku tergeragap. Mang Edy, penjual bubur ayam keliling yang jadi langgananku sarapan, melongokkan wajahnya dari balik pintu pagar. Bukan waktu yang tepat, karena selepas Subuh tadi mantan istriku sudah mengirimkan makanan untuk sarapan aku dan Aal. Dikirim dengan menggunakan ojek online, kami menerima ayam goreng dalam jumlah banyak dengan lalapan dan buah potong. Setiap hari memang mantan istriku melayani pesanan katering untuk pekerja kantoran di sekitar rumahnya.
“Libur dulu, Mang. Ini tadi sudah ada kiriman makanan. Kemarin aja ditunggu nggak lewat,” jawabku sambil tersenyum. Mang Edy terkekeh, lalu membuka pintu pagarku agak lebar, setengah badannya masuk ke dalam halaman rumah. Mang Edy adalah penjual bubur ayam langgananku sekitar setahun ini. Umurnya sekitar 50 tahunan dan tipe orang yang banyak omong dan terlihat seperti selalu sumingrah, tak terlihat ada sedih-sedihnya. Katanya asli Sumedang, tapi kadang berbicara dengan satu dua potong kata bahasa Jawa., entah bagaimana dia bisa tahu itu.
“Kemarin … anu, jualan siang. Maaf tidak ngomong-ngomong ke Bapak. Lha piye, ada tugas negara menanti soalnya,” ujarnya.
“Tumben siang? Kok nggak lewat sini?”
“Ssst … kemarin jualan siang di dekat lokasi demo. Nggak dekat-dekat amat sih, Pak. Cuma di sekitaran sono tuh. Bukan jualan, eh … niatnya jualan, tapi lihat anak-anak muda pada kepanasan dan kelaperan, ya udah saya kasih aja gratisan,” cerita Mang Edy dengan nada bicara diturunkan seperti tak ingin kedengaran orang lain.
“Hah? Kenapa bisik-bisik begitu cara berceritanya?” tanyaku tergelitik sambil tersenyum.
“Hmmm … takut ada tukang bakso lewat bawa HT. Bisa keciduk … hihihihi. Pak … tapi bener lho, kalau lihat anak-anak muda kayak kemarin, duh rasanya saya ingin kembali muda lagi dan berjuang bersama mereka,” imbuhnya.