PULANG KE SOLO, DAN KISAH-KISAH TENTANG POLITIK KEMALANGAN

Ariyanto
Chapter #5

TAK APA BARU MELEK POLITIK

Ada satu kamar kosong di rumah kontrakanku ini. Itu adalah kamar tempat aku menyimpan koleksi buku-bukuku. Dulu, kamar itu kusiapkan untuk ditempati oleh anakku, sebelum kemudian keluargaku berantakan dan dia ikut mantan istriku. Waktu kecil, Aal suka kubelikan komik-komik bekas, beberapa baru, yang merupakan komik-komik kegemaranku saat masih sekolah. Sekarang sebagian besar koleksi komiknya dan buku-bukuku tertata rapi di rak dan lemari yang ada di kamar itu. Mantan isteriku tak mau Aal membawa komik-komiknya saat kami pisah rumah. Kamar itu juga menjadi tempat kerjaku dan tempatku merenung mencari inspirasi. Sebagian tulisan-tulisan laporan jurnalistikku lahir di kamar itu.

Kami memiliki komik favorit yang sama, yaitu komik petualangan Tintin. Awalnya dia tidak terlalu tertarik karena anak-anak seumuran dia lebih menyukai komik Jepang. Tetapi setelah melihat aku masih sering membaca Tintin, dia mulai tertarik. Dari satu cerita, dia kemudian melahap banyak seri Tintin dan malah kemudian rajin mencari informasi tentang komik-komik lama seangkatan komik Tintin, hingga menemukan dua seri komik kesukaannya yang lain yaitu Gerombolan Si Berat dan komik Lucky Luke. Tetapi, Tintin sudah terpatri di hatinya sebagai komik yang paling dia suka. Aku mendukung penuh hobinya membaca komik, karena menurutku itu satu-satunya cara dia tidak kecanduan gawai.

Kulihat anakku duduk di meja kerjaku, menyalakan lampu meja dan tampak menunduk menghadap ke komik yang terbuka halamannya.

“Kamu masih ingat kan kalau Tintin pernah menginjakkan kaki di Jakarta dalam salah satu petualangannya?” tanyaku saat memasuki kamar itu. Pertanyaan soal komik ini kugunakan setelah aku bingung harus memulai percakapan dari mana. Kupikir, membicarakan kegemaran kami berdua bisa jadi cara yang jitu untuk membuka obrolan.

Aal menoleh ke arahku. Dia mengangguk, lalu melanjutkan membaca komik itu. Di meja itu, banyak tumpukan buku-bukuku dan beberapa bingkai foto yang memajang foto kami berdua. Aku meraih kursi plastik di sudut, lalu duduk di samping Aal, kembali mencoba memancing anak laki-laki itu dalam obrolan. “Masih ingat judulnya apa?”

Aal menutup komik yang dipegangnya, “Penerbangan 714 ke Sydney,” jawabnya. Aku tersenyum. Ternyata dia masih mengingat seri itu. Tapi belum terlihat senyum atau mimik muka ramah dari wajahnya.

“Saat itu Tintin, Kapten Haddock dan Profesor Calculus dalam perjalanan menuju ke Sydney, Australia. Pesawat yang mereka tumpangi dari London singgah di Jakarta, di Bandara Kemayoran. Ilustrasinya menunjukkan sebuah bandara dengan lokasi sekitar yang kental suasana tropis. Ada juga dialog yang menunjukkan bahwa itu adalah Kemayoran, di Jakarta,” sambungku.

Aal menoleh lagi ke arahku lalu tersenyum kecil dan itu sebuah kemajuan. Tapi aku masih merasa belum berhasil menarik hatinya untuk bereaksi lebih. Aku ingin dia berbicara.

“Bandara Kemayoran dibangun tahun 1934 dan membuka penerbangan perdana pada Juli 1940. Kalau dari penggambaran ilustrasinya, kurasa Herge pernah datang ke Jakarta,” imbuhku menyebut penulis komik Tintin itu.

Aal terdiam, lalu menoleh ke arahku. “Belum tentu. Bisa saja dia hanya melakukan penelitian tanpa harus datang ke Jakarta,” Aal tiba-tiba menyanggah asumsiku.

“Oh, benar juga. Itu bisa saja terjadi. Tetapi pada masa itu tentu susah ya melakukan penelitian karena sumber-sumber pustakanya mungkin terbatas. Tidak semudah sekarang dengan keajaiban internet,” kataku.

"Bisa saja orang yang dia kenal pernah datang ke Jakarta dan bercerita kepadanya. Dengan kemampuan menulisnya yang bagus, bukan tidak mungkin dia bisa berimajinasi secara terperinci tentang Jakarta meskipun hanya tahu dari cerita orang," sanggah Aal lagi.

Kena! Sepertinya pancinganku sudah dimakan oleh target yang kusasar. Dalam hati aku tersenyum karena pikiran Aal bernas juga. Dia anak yang pandai.

"Betul. Kamu benar. Penulis bisa mendapatkan sumber data dari manapun dan menuangkannya ke dalam sebuah cerita seolah dia pernah melakukan atau pernah berada di situasi itu," imbuhku.

Aal mengangguk-angguk. Dia kembali membuka komik di depannya. Aku harus ekstra kerja keras untuk menarik perhatiannya lagi. Kami bak teman baru kenal dan aku yang berusaha mencari topik pembicaraan supaya kami mengenal lebih baik satu sama lain.

“Apakah Cerutu Sang Firaun masih menjadi favoritmu?” celetukku masih belum menyerah.

Aal mengangguk. Dulu, dia pernah bercerita kepadaku bahwa Cerutu Sang Firaun adalah seri petualangan Tintin yang paling dia sukai. Bahkan itu membuat Aal bercita-cita ingin menjelajahi negara-negara di Timur Tengah kelak bila dewasa. Aku lalu bercerita panjang lebar, bahwa dulu aku mengenal seri itu berjudul Cerutu Sang Faraoh dan lumayan kaget karena ternyata edisi baru sudah berganti judul menjadi Cerutu Sang Firaun. Apakah ceritanya berbeda? Awalnya kupikir begitu, sebelum kemudian aku mencari tahu ternyata Tintin dulu dan sekarang diterbitkan oleh penerbit yang berbeda.

Aal diam mendengarkan aku ngoceh. Kemungkinannya dua, dia merasa bosan dengan omonganku, atau dia tengah menyimak baik-baik. Karena capek, aku kemudian terdiam beberapa saat.

“Pak ….”

Tiba-tiba Aal membuka mulut. Aku spontan menjawab, “Ya?”

“Aku minta maaf sudah merepotkan Bapak soal semalam. Aku berjanji tidak akan mengulangi lagi,” ujarnya lirih.

Aku menatap wajah anakku, lalu mengangguk cepat. “Aku tidak marah. Aku justru bangga karena aku menjemput anak laki-lakiku di kantor polisi bukan karena dia ditangkap akibat tawuran atau karena menyakiti orang. Aku bangga dia ditangkap karena ikut berjuang untuk rakyat,” kataku. Kupandangi mata anakku lekat-lekat untuk menunjukkan bahwa aku serius mengatakan hal itu.

Lihat selengkapnya