PULANG KE SOLO, DAN KISAH-KISAH TENTANG POLITIK KEMALANGAN

Ariyanto
Chapter #6

DIPLOMASI MAKAN SIANG

Solo, 4 Juni 2007

Pagi hari aku ditelepon oleh redakturku yang memberikan penugasan agar aku merapat ke rumah makan Boga-Bugi pukul 11.00 WIB. Wali kota ingin bertemu dengan wartawan, namun entah jumpa pers membahas apa tidak diberitahukan. Ini bukan kebiasaan wali kota menggelar jumpa pers tapi tidak memberi tahu apa yang akan dibahas.

Kondisi begini akan menyulitkan bagi beberapa wartawan untuk mempertimbangkan mana isu hari itu yang harus diprioritaskan dilihat dari news value-nya, karena mereka tak bisa berada di banyak tempat dalam waktu sama. Jangan-jangan wali kota hanya ngajak ngobrol sambil makan-makan saja, yang tentu akan membuang waktu para wartawan. Tetapi bagi wartawan yang cerdik, kesempatan ini bisa digunakan untuk bertanya tentang isu tertentu, untuk mendapatkan komentar dari wali kota. Bagi wartawan nasional kadang situasi begini bikin pusing, karena di satu kota biasanya hanya ada satu wartawan nasional yang harus meng-cover semua isu. Mereka harus benar-benar memilih mana isu yang bisa diangkat menjadi isu nasional. Kalau hanya sekadar haha-hehe dengan wali kota atau peristiwanya terlalu lokal, kemungkinan tak layak mereka angkat.

Pukul 10.45 WIB aku sudah berada di rumah makan itu dan sudah tampak beberapa wartawan dari media lain di sana. Kami sama bingungnya kenapa wali kota mendadak ingin mengadakan jumpa pers. Acara rencananya akan dimulai pukul 11.00 WIB, karena dari pagi wali kota masih ada rapat dengan anggota DPRD di gedung DPRD.

Pukul 11.05 WIB, mobil wali kota tampak sudah merapat di halaman rumah makan itu. Saat memasuki rumah makan, para wartawan termasuk aku berdiri memberikan salam. Wali kota yang mengenakan batik lengan panjang cokelat muda tampak hadir dengan didampingi sejumlah pejabat pemerintah. Wali kota kemudian menyalami satu persatu wartawan yang datang, termasuk aku.

“Ada apa nih, Pak … kok mendadak jumpa pers?” celetuk salah satu wartawan televisi nasional. Wali kota menoleh ke wartawan itu dan tersenyum. Hubungan wartawan dengan wali kota memang secair itu.

Ndak ada apa-apa. Wong saya ini hanya pengen makan siang dengan teman-teman wartawan,” jawabnya santai sambil tersenyum, yang disambut dengan senyuman dan celetukan para wartawan. Wali kota ini memang karakternya demikian, mudah akrab dengan para wartawan dan seperti menghindari ada sekat antara dirinya dengan media. Sikapnya tercitrakan humble yang mampu menyenangkan orang yang berinteraksi dengannya.

Benar saja, hari itu kami makan siang dan ngobrol santai seperti tak ada agenda penting dalam pertemuan itu yang akan disampaikan kepada wartawan. Beberapa wartawan malah lebih dulu cabut dari lokasi karena ada penugasan yang lebih penting. Hingga … wali kota memberi tanda agar aku mendekat. Situasi itu tidak disadari teman-teman wartawan lain yang memang tengah asyik makan dan bercengkerama satu sama lain. Aku mendekat ke arah wali kota.

“Siap, Pak … ada apakah?” tanyaku dengan sopan.

Wali kota terkekeh. Lalu tiba-tiba wajahnya berubah serius dengan cepat dan agak mengagetkan aku. Aku sudah berpikir ada sesuatu yang salah dengan apa yang pernah aku tulis di koran.

“Aku sebenarnya punya salah apa tho, Mas sama kamu?” tanyanya serius sambil memicingkan matanya yang membuatnya terlihat semakin sipit. Hah? Aku lumayan kaget mendengar itu. Masih berusaha mencerna apa maksud kalimat tanya wali kota itu. Aku masih bingung harus menjawab apa, out of the blue wali kota melontarkan pertanyaan tanpa memberikan petunjuk konteksnya apa. Lalu wajahnya berubah dari serius ke ramah, tersenyum kecil ke arahku.

“Maksudnya bagaimana, Pak? Maaf, saya belum paham,” kataku. Aku yakin sekali bahwa pertanyaannya lahir dari situasi batin yang dipendam lama, sehingga saat bertemu denganku harus segera dilontarkan. Atau jangan-jangan jumpa pers ini soal keresahannya kepadaku? Atau kepada koranku? Aku masih menebak-nebak.

“Iya, aku itu punya salah apa tho sama kamu sampai setiap hari … iya lho, setiap hari kamu menghajar aku dengan berita-beritamu?” tanya wali kota dengan serius.

Deg!

Aku terdiam. Situasi menjadi sangat canggung di antara aku dan wali kota. Kepala hubungan masyarakat dan protokol pemerintah yang duduk di samping wali kota memandangku, sebelum kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak banyak yang hadir di sana menyadari hal itu, karena kami berbicara dengan lirih. Tone suaraku tentu mengimbangi suara wali kota yang memang sengaja berbicara sedikit pelan. Beberapa wartawan bahkan mulai sibuk menikmati hidangan yang sudah dihantarkan di meja sehingga tak menyadari ada situasi canggung antara aku dan wali kota.

“Maaf, Pak … sebelumnya saya bingung … maksud bapak?”

“Halaaah … begitu saja kok pura-pura ndak ngerti. Ya kalau aku punya salah sama kamu, Mas … ya aku minta maaf. Tapi ya jangan setiap hari kamu menghajarku begitu. Pemerintah kota ini ingin mengubah semuanya menjadi baik, secara bertahap. Memang gampang mencari solusi pada setiap persoalan yang ada? Banyak warisan persoalan dari wali kota sebelumnya itu yang jadi bebanku sekarang. Banyak hal yang harus saya bereskan, lho,” kata wali kota lagi.

Aku terdiam. Sudah mulai mengerti bahwa ini soal pemberitaan di koranku, namun belum mengerti konteks pastinya berita yang mana. Kalau soal wali kota, tentu ini kemudian bukan hanya mengacu pada beritaku, mengingat ada lima wartawan desk kota yang menggarap isu-isu kota yang saling beririsan. Bisa jadi tulisanku, bisa jadi tulisan empat wartawan koranku lainnya.

Kalau secara umum, banyak berita yang mengkritisi kebijakan pemerintah dan hal itu lumrah. Apa iya aku harus cerita panjang lebar kepada wali kota soal posisi pers sebagai pilar keempat demokrasi? Apa iya aku juga harus menjelaskan lagi posisi pers yang menjadi watchdog alias “anjing penjaga” yang mengawasi, mengevaluasi dan memberikan kritik kepada pemerintah? Aku pastikan wali kota tahu tentang hal itu. Atau benar-benar tidak tahu? Entahlah.

Dalam beberapa bulan terakhir koran tempat aku bekerja selalu menurunkan berita yang mengkritisi kebijakan wali kota terkait pemindahan pedagang barang bekas di lokasi baru. Para pedagang barang bekas sebelumnya telah menggunakan lokasi dagang yang bukan peruntukannya, sehingga membuat masalah di wilayah tersebut. Jumlahnya tidak main-main, hampir mencapai seribu pedagang. Dan mereka dengan gampangnya menempati lahan yang bukan peruntukan, bahkan banyak yang menggunakan lokasi di depan rumah-rumah warga, sehingga dikeluhkan oleh warga. Ini problem kota yang pelik dan berlangsung bertahun-tahun dan hingga kini belum ada solusi yang tepat. Lalu wali kota mengupayakan untuk pemindahan pedagang barang bekas dengan membangun lokasi baru. Yang menjadi masalah, pemindahan ini menggunakan anggaran mendahului, yang dinilai berpotensi bermasalah di belakang hari. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pengajuan dana mendahului anggaran hanya diperbolehkan bila ada kondisi mendesak seperti bencana alam. Langkah wali kota menggunakan anggaran mendahului tidak dalam situasi mendesak inilah yang selalu dikritisi oleh koran tempatku bekerja. Tentu banyak di antaranya merupakan tulisanku hasil wawancara dengan stakeholders maupun pengamat kebijakan pemerintah. Kalau kemudian masukan dari berbagai elemen masyarakat yang disampaikan melalui berita yang kami tulis memerahkan kuping pemerintah, ya memang harus begitu supaya pemerintah tidak kebablasan dan melakukan langkah keliru.

Lihat selengkapnya