Solo, 4 Agustus 2008
Aku akhirnya melamar Sularmi dan tak butuh waktu lama kami segera melangsungkan pernikahan. Semua hal tentang rencana pernikahan ini membuatku benar-benar stress. Aku baru mendapatkan cuti empat hari sebelum akad nikah karena memang pada saat yang bersamaan di kantor ada dua orang lagi yang cuti, satu cuti melahirkan, satu lagi jatah cutinya harus segera diambil sebelum dinyatakan hangus. Pikiranku bercabang, berloncatan, kadang memikirkan pekerjaan dan deadline-deadline ketat, lalu tiba-tiba bisa meloncat memikirkan rencana pernikahan. Sekarang aku mengamini kata orang, betapa pusingnya menjadi calon pengantin itu.
Salah satu hal yang membuatku makin pusing adalah permintaan calon istriku. Ini bukan soal lagi bagaimana cetak kertas undangannya, kateringnya, tempat acaranya, atau apakah budget kami mencukupi atau tidak. Ini sesuatu yang kecil tapi harus benar-benar aku pikirkan matang-matang. Istriku meminta aku tidak mengundang wali kota dalam resepsi.
“Aku mau kita blacklist dia,” pintanya dengan kalem.
Bagi dia, semudah itu memang. Bukan saudara, bukan kerabat, teman juga bukan. Tetapi tentu persoalannya akan berbeda bagiku. Aku gambarkan situasinya kenapa ini menjadi persoalan memusingkan buatku. Mengundang pejabat penting kota ke resepsi pernikahan adalah hal yang lumrah atau sering dilakukan oleh para wartawan. Terkadang ini bukan hanya soal kepentingan si wartawan, tetapi juga cara para pejabat merawat hubungan baik dengan para wartawan. Hubungan yang sangat baik dengan wartawan jauh lebih berguna daripada upaya-upaya membangun citra yang dilakukan para pejabat kehumasan mereka. Ini benar-benar memangkas kerja-kerja orang di kehumasan.
Selain itu, ini juga soal unggah-ungguh atau etika kesopanan, sarana menghargai sosok pejabat yang kita kenal. Tidak seperti Jakarta, kota besar yang mungkin memiliki wartawan yang jumlahnya jauh lebih besar, kota seperti Solo memiliki wartawan yang tak banyak dan dapat dipastikan wartawannya mengenal orang-orang penting di kota itu dan vice versa. Belum, aku belum selesai pada poin persoalan. Aku mungkin akan mengalah dan mengikuti permintaan istriku untuk tidak mengundang wali kota. Masalahnya, istriku mau mengundang ketua DPRD Kota. Tak mengherankan karena Pakdenya juga anggota DPRD.
“Kita tidak bisa memilih-milih begini. Legislatif dan eksekutif ini posisinya seimbang lho. Kalau kamu mau mengundang ketua DPRD, ya kamu harus mengundang juga wali kota. Lagian ini justru menguntungkan kita, status sosial kita akan bagus di mata orang … wah pernikahan Margono dan Sularmi dihadiri semua pejabat penting kota,” terangku. Aku sebenarnya, sejujurnya, tak memikirkan soal status dan pandangan orang itu. Aku hanya menggunakan alasan itu untuk mengambil hati calon istriku sehingga dia mau mengundang wali kota. Berhasil? Tentu tidak.
“Bukan aku yang mengundang ketua DPRD. Bukan aku yang menginginkannya. Itu keinginan Pakdeku dan aku tidak bisa menolak karena Pakde memiliki andil besar dalam pembiayaan resepsi kita. Memangnya kamu berani menentang Pakdeku?” kata istriku.
Itulah kenapa ini memusingkan. Cawe-cawe dari Pakdenya Sularmi yang menjadi anggota DPRD membuat peranku kerap seperti tidak berarti. Lha ini kan pernikahanku, kenapa banyak hal diputuskan oleh Pakdenya calon istriku? Sejak awal aku menginginkan pernikahan sederhana, hanya akad nikah sakral di Masjid Fatimah, lalu dilanjutkan dengan makan bersama keluarga besar yang mungkin jumlahnya tak lebih dari 200 orang gabungan dari keluargaku dan keluarga calon istriku. Sebenarnya sesederhana itu. Lalu suatu hari calon ibu mertuaku mengatakan bahwa pihak mereka ingin menggelar resepsi pernikahan yang lumayan besar di salah satu hotel berbintang. Aku terkejut bukan main. Tetapi mereka seperti sudah merencanakan semua, bahwa aku tidak perlu khawatir soal pembiayaan karena Pakdenya Sularmi akan menanggung semua pembiayaan di luar acara akad nikah. Di sinilah problemnya. Lalu tiba-tiba dia seperti mengatur semua, makanannya apa, dekorasinya bagaimana, hingga soal siapa yang diundang.
“Pakde maunya dekorasi dominan warna putih, sesuai dengan warna partai beliau. Pesannya, jangan sekali-kali memilih dekorasi warna merah karena itu warna partai politik yang berseberangan dengan partai beliau,” kata istri.
Buset! Aku sampai tergelak. Bukan karena kelucuannya, tetapi karena keanehannya. Resepsi pernikahanku mendadak menjadi sarana untuk perang politik! Benar-benar di luar nalar menurutku. Itu baru satu permintaan aneh. Banyak lagi permintaan lain yang kemudian membuatku berpikir, kok ini jadi kayak pernikahan main-main dengan aku sebagai bonekanya? Hal aneh lainnya sempat membuatku mengancam akan membatalkan pernikahan. Ini saat aku melihat daftar undangan di mana Pakdenya calon istriku memasukkan sekitar 100 undangan yang merupakan orang-orang partainya. Aku hanya memberi toleransi 50 orang saja atau pernikahan dibatalkan. Lha aku aja tak mengenal sebagian besar dari mereka lho, kenapa aku harus mengundangnya?
“Kalau ketua dan unsur pimpinan DPRD diundang aku maklum. Tapi ini lho, 100 orang lebih hanya orang-orang partai dia. Lha ini pernikahan siapa? Kok dia bisa menentukan semua sendiri,” bentakku. Calon istriku terdiam. Tetapi dia tahu aku marah besar. Akhirnya dengan sekuat tenaga dia meminta Pakdenya memangkas jumlah undangan menjadi hanya separuhnya. Sempat terjadi perdebatan sengit, sebelum kemudian aku walk out dari rapat keluarga, yang membuat mereka berpikir ulang. Pasti Pakdenya bakal malu besar kalau pernikahan ini batal.
Tetapi soal permintaanku untuk tetap mengundang wali kota tak dipenuhi calon istriku. Dia bahkan meniru sikapku dengan mengancam akan membatalkan pernikahan bila aku tetap mengundang wali kota. Luar biasa memang persoalan persiapan pernikahan ini. Aku sempat bertanya kepadanya kenapa dia begitu membenci wali kota? Apakah ada sesuatu yang tidak aku ketahui yang membuatnya sejak awal seperti tidak suka dengan orang nomor satu di kota ini itu?
Calon istriku terdiam. Tapi pancaran matanya menunjukkan bahwa memang dia tidak suka dengan wali kota. Ini membuatku gemas, karena kalau kamu tidak suka dengan seseorang seharusnya ada alasannya. Apakah pernah ditampar, atau pernah dipernah dimaki, atau apa? Atau hanya perasaan tidak suka yang tiba-tiba menyelinap di hati tanpa ada penjelasannya? Aku tidak percaya ada orang yang membenci orang lain tanpa ada alasan.