PULANG KE SOLO, DAN KISAH-KISAH TENTANG POLITIK KEMALANGAN

Ariyanto
Chapter #8

SEGEPOK SOGOK

Solo, 9 Oktober 2008

Itu seperti Kamis-Kamis yang lain. Pagi hari aku sibuk memberi makan ayam-ayamku. Ada empat ekor ayam yang kupelihara di halaman belakang rumah yang luasnya tak seberapa. Satu jago dan tiga ekor ayam betina. Telur-telur yang kukonsumsi adalah telur-telur hasil dari memelihara ayam-ayamku ini. Selepas Subuh, aku sering olahraga ringan lalu lanjut memberi mereka makan. Sisanya, minum teh hangat bikinan istri, sebelum kemudian mandi, sarapan, lanjut persiapan liputan.

Pagi itu aku bahkan belum mandi, saat tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Istriku berteriak dari kamar, memanggilku untuk mengangkat telepon itu. Aku bergegas masuk ke rumah dan menuju kamar. Tumben ada telepon pagi-pagi. Mungkin ada peristiwa yang harus diliput? pikirku.

“Siapa?”

“Pak Agung,” jawab istriku setelah melongok ke handphone dan membaca nama caller-nya. Aku sedikit agak lambat memikirkan Pak Agung yang mana, sebelum kemudian aku teringat. Kuraih cepat handphone itu, lalu mengangkat sambungan telepon dari Pak Agung, “Selamat pagi. Ada apa nih, tumben pagi-pagi telepon, Pak?”

“Pagi … dik, nanti jam 9 diajak ketemu Bu Etiek. Bisa kan?”

Aku mencoba mencerna kalimat itu. Tumben nih ada pejabat yang mendadak mengajakku bertemu. “Ada apa ya, Pak? Bisa sih, tapi jam 10.30 WIB saya harus cabut ke gedung Dewan, ada liputan. Ada apa sih, Pak kok tumben?” aku penasaran. Pak Agung tidak menjawab. Dia hanya memintaku untuk menemuinya lebih dulu di kawasan Sriwedari, sebelum liputan ke gedung Dewan.

Pak Agung adalah wartawan senior di Harian Suara Madani. Aku tidak terlalu akrab dengannya, hanya kadang bertemu di liputan-liputan tertentu. Pak Agung sosok yang aku hormati, standar yunior yang menghormati senior-seniornya. Umurnya sekitar 50 tahunan, dengan dahi lebar tetapi belum botak dan jambang cukup lebat. Dia adalah wartawan lawas di Solo. Pejabat Solo mana yang tidak mengenal Pak Agung.

Di luar sana, kerap terdengar desas-desus tentang sepak terjangnya. Aku yang sejak awal tidak tertarik untuk membicarakan desas-desus, gosip, atau cerita-cerita liar tentang wartawan A, wartawan B, dan lain sebagainya, menjadi tak peduli juga dengan omongan miring tentang Pak Agung. Selama dia baik dan tidak menggangguku, maka telingaku akan tuli oleh gosip, mulutku akan bisu untuk menyebarkannya, dan kubutakan diri atas hal-hal yang tak perlu kulihat.

Bu Etiek Sunarti, orang yang mengajaku bertemu, adalah salah satu pejabat pemerintahan kota yang aku mengenalnya, tidak sebaik itu, namun mengenalnya. Seingatku, sepanjang aku menjadi wartawan hanya dua atau tiga kali aku mewancarainya, itu pun bukan berita besar. Pak Agung sendiri adalah wartawan yang ditugaskan kantornya untuk ngepos di dinas yang dipimpin Bu Etiek. Saking lamanya ngepos di sana, Pak Agung memiliki jaringan kuat di sana. Di koran tempat Pak Agung bekerja, tidak ada sistem rolling seperti yang diterapkan di kantorku.

Di koranku, selalu ada rolling berkala yang diberlakukan kepada wartawannya. Tak tentu waktunya, bisa setahun sekali, dua tahun sekali, atau bila memang urgent bisa saja dua bulan tiga bulan sudah di-rolling. Sistem rolling ini kerap bikin repot dan nyaris semua wartawan tidak suka. Tapi bagiku, aku jalani saja itu sebagai risiko bekerja di kantorku. Toh, tujuannya baik. Aku cukup paham dengan wartawan yang tidak suka rolling, khususnya wartawan yang ditempatkan di daerah luar kota. Mereka harus memulai dari awal, mencari kos-kosan, membuka jaringan, menyesuaikan diri dengan wartawan lawas di tempat barunya, dan banyak hal yang merepotkan.

Sistem rolling diberlakukan kepada wartawan supaya tidak tercipta hubungan terlalu dekat antara wartawan dengan narasumber. Bila terlalu dekat, maka tulisan-tulisan wartawan yang bersangkutan akan bias, tidak objektif, lebih berat lagi bila muncul hubungan yang transaksional. Hubungan transaksional ini tentu soal uang, narasumber yang main sogok ke wartawan supaya tidak menuliskan hal-hal jelek tentang mereka. Tentu sogokan ini lebih banyak tak diketahui kantor tempat wartawan bekerja.

Aku melihat beberapa media longgar soal ini, seperti yang kulihat pada Pak Agung yang bisa bertahun-tahun ngepos di satu kantor dinas. Nyaris semua pemberitaan yang ditulis Pak Agung tentang dinas itu adalah hal-hal yang baik, seolah dinas itu diisi oleh para malaikat yang bekerja sempurna tanpa cela, dengan berita-berita tentang keberhasilan dan melulu soal citra. Bagiku, cilaka bila sebuah media tidak melakukan sistem rolling pada penempatan wartawannya. Akan muncul raja-raja kecil yang berkuasa di masing-masing pos itu. Lalu semua menjadi sangat transaksional.

Tetapi seperti yang kubilang, soal wartawan media lain dan segala tindakannya, aku akan menulikan telinga, membisukan mulut dan membutakan mata. Aku tidak bertugas untuk mengkritisi bagaimana wartawan bekerja, tetapi aku akan fokus mengkritisi bagaimana pejabat pemerintah bekerja. Baru kalau ada wartawan yang mengusikku, aku akan hajar saja. Sesederhana itu.

“Aku harus berangkat lebih awal. Pak Agung dari Suara Madani minta ketemu, mau diajak bertemu dengan Bu Etiek Sunarti. Entah urusan apa,” kataku kepada istriku.

“Masih sempat sarapan, kan? Kubikinkan telur orak-arik?” tanya istriku.

“Boleh. Yang kering ya gorengnya. Aku mau mandi dulu,” ujarku.

Belum juga aku beranjak, kulihat wajah istriku, terdiam memandangiku. Pandangannya aneh. Aku urung menuju ke kamar mandi dan balik memandanginya dengan penuh tanya.

“Ada apa?”

“Pakde meminta uang hasil sumbangan resepsi. Pakde butuh Rp30 juta karena ditagih konstituennya untuk membantu pembangunan balai kampung. Pakde dulu menjanjikan akan membantu mereka,” ujar istriku dengan muka masam.

“Astaga!” seruku spontan.

Luar biasa memang Pakde-nya istriku ini. Resepsi pernikahan yang sudah berlangsung dua bulan lalu, masih dipersoalkan juga. Kami tidak pernah menginginkan pernikahan mewah di hotel berbintang. Dia yang memutuskan semua dan tidak pernah ada perjanjian di awal bahwa sumbangan akan menjadi haknya. Ini benar-benar gila. Di rekeningku bahkan sekarang tinggal uang Rp10 juta. Dari hasil sumbangan resepsi kemarin memang kami mendapatkan uang hampir Rp40 juta. Sebesar Rp15 juta aku gunakan untuk kontrak rumah ini setahun, Rp10 jutaan lagi kubelikan perabotan rumah tangga, sisanya sebagian kugunakan untuk bulan madu ke Bandung, sekarang sisa Rp10 juta aku eman-eman sebagai tabungan dan kami makan sehari-hari dari gajiku.

“Kamu jawab apa?”

“Aku bilang, aku harus tanya kamu dulu. Dia ngasih waktu sampai akhir pekan ini,” jawab istriku dengan muka datar.

Lihat selengkapnya