“Pak Agung itu bajingan tengik! Dia adalah seburuk-buruknya wartawan yang pernah aku kenal. Selama ini aku tidak peduli isu di luar sana soal dia wartawan amplop, wartawan bodrek, atau apapun istilahnya. Tetapi hari ini dia melakukan kesalahan besar! Ini malah dia bersekutu dengan pejabat busuk dan nyebokin mereka. Luar biasa!" aku pulang dengan emosi mendidih.
Kulempar tas ranselku ke sofa. Aku murka. Tak pernah terlintas pagiku akan dimulai dengan peristiwa yang menyebalkan seperti ini. Parahnya, ini dilakukan oleh orang yang memiliki profesi sama. Pak Agung mungkin menilai aku bisa dia atur dan memiliki karakter sama dengannya, mau menerima uang dari narasumber. Tapi dia salah besar.
Aku masuk ke ruang tengah. Istriku terlihat kaget karena tiba-tiba saja aku sudah balik ke rumah dengan ngomel-ngomel, padahal belum lama berangkat. Biasanya kalau aku sudah berangkat pagi, maka sore hari baru pulang. Itu pun tidak pasti layaknya kerja wartawan. Tapi dalam kondisi biasa saja tidak ada peristiwa penting, aku berangkat pagi pulang sekitar pukul 16.00 WIB.
“Ada apa, sih?” tanya istriku dengan wajah heran.
“Bener gosip yang beredar selama ini. Pak Agung ini tukang cebokin pantatnya pejabat-pejabat pemerintah. Dia yang mengatur pertemuanku dengan Bu Etiek dan mengintimidasi aku agar menghentikan pemberitaan tentang alih fungsi kios-kios yang mereka kelola. Mereka bahkan menyogokku dengan uang agar menghentikan pemberitaan,” ujarku sebal.
Istriku terdiam.
“Uang yang besar,” imbuhku menegaskan.
“Sudah kuduga. Itu ya ... dari atasan sampai bawahan korup semua. Aku sudah mendengar banyak hal buruk tentang pejabat-pejabat pemerintahan. Sekarang kamu membuktikan sendiri. Selama ini kamu seperti tidak percaya dan kulihat kamu mulai memiliki persepsi bagus tentang wali kota,” ujar istriku. Aku menoleh ke istri dengan sedikit agak heran. Dia ternyata mengamatiku selama ini.
“Dari mana kamu bisa mendapatkan kesimpulan itu tentang aku? Selama ini beritaku juga terus mengkritisi kebijakan wali kota,” sanggahku.
“Tetapi saat ngobrol personal membicarakannya, kamu sering terlihat tidak segarang tulisan-tulisanmu,” sergah istriku.
“Nggak, itu perasaanmu saja. Aku hanya mencoba profesional. Kalau dalam konteks kerja, aku akan melakukan porsiku untuk mengkritisi beliau. Tetapi kalau soal personal, aku menghargai wali kota yang memang pembawaannya cair kalau ketemu wartawan. Menurutku beliau baik. Tapi bisa jadi lingkaran sekitarnya yang busuk,” tepisku.
“Kamu menyebut dia dengan 'beliau' saja sudah aneh. Jangan-jangan karena kamu sudah disumbang Rp2,5 juta ya jadi kamu mulai berubah secara personal dalam melihat wali kota?” sindir istriku.
Astaga, itu lagi! Padahal sudah jelas, aku tidak serta merta menerima sumbangan wali kota saat kami menikah. Aku sudah mengkomunikasikan sumbangan itu ke kantor dan kantor memutuskan itu sah sebagai sumbangan dalam konteks personal, karena mereka memberi dan aku menerimanya tidak dalam kaitan berita. Setelah itu pun aku masih terus keras dalam memberitakan kebijakan-kebijakan pemerintah, aku tak kendor mengkritisinya. Tudingan istriku itu benar-benar membuatku gerah.
“Terus dari mana kamu dapat kesimpulan kalau dari atasan sampai bawahan korup semua?” tanyaku.
“Pakdeku dan rekan-rekannya cerita semua,” jawab istriku.
“Itu karena Pakdemu dan rekan-rekannya adalah dari partai politik yang berseberangan dengan partai politik yang mengusung wali kota. Ya nggak apa-apa, biar ada oposisi untuk pemerintah. Tetapi ya terus jangan nuding aku sebagai orang yang mengagumi wali kota dong. Semua harus sesuai konteks. Ada saat aku menghajarnya dalam konteks kebijakan, ada saatnya aku menghormatinya dalam konteks orangtua, pemimpin, kan gitu,"” sergahku lagi.
“Tapi itu bukan berarti omongan partai politiknya Pakdeku salah bukan?”
“Kan sudah kubilang nggak apa-apa. Tidak salah, nggak apa-apa, meskipun itu tendensius. Tapi nggak apa-apa, biar ada kontrol,” tegasku berulang-ulang.
Aku kemudian diam. Pembicaraan ini justru membuatku semakin pening karena melebar kemana-mana. Aku tadi berharap pulang dan curhat, lalu istriku akan menghiburku dan berpihak padaku. Bukan malah mengajakku untuk berdebat lagi, yang ujung-ujung dia menyatakan ketidaksukaannya pada wali kota. Selalu semua bersumber dari Pakdenya.
Sekarang mood-ku tambah drop. Hal ini membuat aku malas untuk liputan dan memilih berada di rumah saja seharian ini, sebelum nanti sore ngantor untuk setor berita dan koordinasi dengan redaktur. Target berita untuk hari ini masih bisa kupenuhi dari beberapa berita yang masih kusimpan. Bila perlu, aku akan menuliskan pengalamanku bertemu Bu Etiek tadi buat berita besok. Pasti redakturku suka! Aku memang sangat jengkel dengan apa yang baru saja terjadi.
“Masak apa hari ini?”
“Oseng-oseng kacang panjang dan telur dadar. Ada tempe juga. Hari ini lupa belum beli kerupuk, seadanya dulu,” jawab istriku.
Tadi pagi dia batal membuatkanku telur orak-arik karena perselisihan kecil kami soal permintaan uang Pakdenya, yang membuatku batal sarapan dan lambungku hanya terisi secangkir kopi dan dua potong bakwan di warung sebelum bertemu Bu Etiek tadi. Kulihat, sepertinya mood istriku lebih baik daripada pagi tadi.
Aku menuju ruang tengah dan duduk menghadapi makanan di meja makan. Istriku mengambilkan nasi buatku, sebelum kemudian memasukkan lauk ke dalam piring itu. Secangkir teh hangat sudah tersedia di meja.
“Bagaimana dengan uang yang diminta Pakde?” tanya istriku, lagi.
Astaga! Itu lagi. Aku bahkan sedang menata hatiku supaya lebih baik, kemudian bersiap menikmati makanan. Eh, ini harus disuruh mikir lagi hal yang membuatku berselisih dengannya tadi pagi. Bagaimana mungkin aku menyediakan uang Rp30 juta hanya dalam waktu satu minggu? Apa aku harus maling? Tak ada barang yang bisa dijual di rumah ini, kalau pun bisa, nilainya tak akan mencukupi.
“Bilang pada Pakdemu, aku tidak akan memberinya uang Rp30 juta di minggu ini. Tepatnya, tidak bisa. Dipikir gampang menyediakan uang sebesar itu? Inget ya, kita tidak pernah berutang uang kepada Pakdemu. Acara resepsi pernikahan di hotel bintang itu adalah ide dari Pakdemu, aku nggak pernah minta. Sekarang kok mendadak minta uang sumbangan dari acara itu. Uang sumbangan itu kan hak kita,” kataku tegas.
Istriku terdiam, tak ada perlawanan seperti pagi tadi. Dia lalu bersungut-sungut dan duduk di kursi seberangku. Kedua tangannya memegang kepala dan memijat-mijatnya seperti orang yang pusing.
“Aku juga tidak mengira akan seperti ini. Tidak pernah ada perjanjian kita harus menyerahkan uang sumbangan ke Pakdeku. Kalau aku serahkan uang Rp10 juta di tabungan, kita bakal kesulitan juga kalau muncul kebutuhan mendadak sewaktu-waktu. Kalau kontrakan milik orangtuamu gimana? Apakah bisa meminta mereka membayar di muka untuk tahun depan?” tanya istriku.
Rumah warisan orangtuaku memang dikontrakkan. Hasilnya dibagi dua antara aku dan Mas Marwono. Harusnya seperti itu, namun Mas Marwono kadang hanya meminta sepertiganya saja. Sekarang sudah dikontrak orang selama 2 tahun yang akan habis akhir tahun ini. Katanya, mereka akan melanjutkan kontrak 2 tahun lagi, tetapi belum memutuskan. Dulu Mas Marwono sebenarnya memintaku untuk menempati saja. Tetapi rumah itu terlalu besar bagi aku dan istriku, sehingga aku memilih untuk dikontrakkan saja dan aku memilih ngontrak di rumah kecil ini, sehingga masih bisa mendapatkan sisa uang.
“Mereka baru akan memberi kabar awal Desember. Katanya kalau memang sebelum itu ada orang yang mau ngontrak, mereka akan lepaskan,” kataku pada istriku.
Istriku terdiam seperti tak menemukan jalan.
“Sekali-kali kita harus melawan orang-orang seperti Pakdemu itu. Aku tahu dia berjasa besar bagi keluargamu. Dia yang membukakan usaha buat ibumu untuk mengelola kantin DPRD. Aku tahu dia yang membayari sekolahmu hingga lulus D3. Tetapi kan bukan berarti setelah itu dia bisa mengatur hidup kalian seenak udelnya. Okelah kalau dia mengatur ibumu karena beliau hidup sendiri dan itu kakaknya, tapi kamu? Kamu itu sudah sah menjadi istriku. Nggak boleh ada yang mengatur-atur kecuali aku suamimu,” ujarku.