Solo, 13 Oktober 2008
Sejak pagi aku mengikuti kegiatan anggota Komisi IV DPRD yang melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah sekolah, terkait laporan adanya pungutan liar terkait pengadaan lembar kerja siswa (LKS). Sejumlah orangtua wali murid sekolah dasar mengeluhkan hal itu kepada anggota DPRD dan meminta dilakukan inspeksi. Inspeksi itu dilakukan ke beberapa sekolah dasar secara acak di beberapa kecamatan, khususnya SD-SD yang sebelumnya sudah diduga melakukan pungutan liar itu.
Aku tak habis pikir. Negara ini seperti dikepung koruptor dari segala lini. Bahkan hingga ke dunia pendidikan yang seharusnya menjadi fondasi awal pembentukan sikap moral pada generasi muda pun korupsi tumbuh subur. Lha kalau kepala sekolah dan guru-gurunya korupsi, gimana murid-muridnya?
Kegiatan inspeksi itu baru selesai selepas Zuhur. Aku harus membagi waktuku untuk liputan lain terkait isu politik. Sekitar pukul 14.00 WIB aku baru bisa menyelesaikan semua liputanku dan bersiap untuk kembali ke kantor yang lokasinya agak di pinggir kota Solo.
Hari ini bukan hari sibuk dan aku tak terburu-buru dikejar deadline. Aku hanya perlu menyampaikan ke redakturku tentang garis besar materi-materi berita apa yang kudapat hari ini. Kami menyebutnya listing berita dan ini harus disetorkan sebelum pukul 14.00 WIB di mana rapat redaksi pertama digelar untuk melakukan perencanaan berita. Biasanya sore aku ngetik di kantor untuk menulis berita yang sudah aku listing, lalu setelah semua selesai, tinggal pulang. Berita-berita yang sudah ditulis itu kemudian akan dibawa redaktur ke rapat redaksi kedua yang dilakukan selepas Maghrib, untuk menentukan berita apa yang akan muncul besok. Di rapat redaksi, akan diadu antara satu berita dengan berita lain, mana yang paling kuat, untuk dimuat di halaman utama atau halaman satu. Berita-berita seputar penyelewengan anggaran, korupsi, kolusi, nepotisme, kecelakaan atau peristiwa-peristiwa yang memiliki news value tinggi akan berpotensi masuk halaman satu.
Hari ini udara lumayan di Solo juga lumayan sejuk karena mendung menggantung sejak pagi. Aku mengendarai motor Honda Revo kesayanganku membelah Jalan Jenderal Sudirman. Di pertigaan gedung Bank Indonesia aku belok kiri, rencana akan mampir dulu beli lotek di dekat swalayan Atria. Istriku beberapa hari lalu sempat menyinggung keinginannya untuk makan lotek, dan maunya hanya lotek di Atria. Mumpung aku ingat, aku berencana membelikannya.
Motor kugeber dengan kecepatan hanya 40 km per jam, batas yang disarankan saat berkendara di dalam kota. Aku nyantai, mengendarai motor seperti hidup tak ada beban. Lalu lintas belum cukup ramai, mungkin karena bukan jam karyawan pulang kerja. Beberapa motor mendahuluiku karena aku mengendarai motor dengan lambat. Aku termasuk pengendara sepeda motor yang lambat. Entahlah, buat apa juga ngebut karena tidak ada yang aku kejar pula.
Dari spion kulihat ada sepeda motor, sepertinya motor matic warna hitam, mungkin jenis Beat aku kurang jelas, tampak berjalan pelan. Aku sudah berusaha minggir memberi kesempatan dia lewat, namun pengendaranya tak mau mendahuluiku. Mungkin dia sesantai diriku siang ini, pikirku.
Di lampu merah depan kantor Kelurahan Kampung Baru, aku berhenti. Motor itu berhenti di belakangku meskipun sisi samping kananku kosong. Pemalu amat, batinku. Kulirik lagi di spion, tak jelas wajah pengendaranya karena dia mengenakan helm full face. Oh, ternyata berboncengan. Ya, sudah aku kembali fokus dengan motorku. Lampu merah berubah hijau, lagi-lagi banyak kendaraan yang mendahuluiku. Aku tetap mengambil sisi kiri karena menyadari jalanku lambat dan mempersilakan orang lain mendahuluiku. Tetapi motor di belakang ini tetap tak mau mendahuluiku.
Lama-lama agak aneh. Aku berhenti, minggir sejenak, lalu mengeluarkan handphone-ku pura-pura menerima panggilan telepon. Eh, dia juga berhenti, sekitar 10 meter di belakangku. Tidak melakukan gerakan apapun, hanya berhenti. Setidaknya itu yang kulihat dari spion motorku. Sepertinya, dia mengikutiku. Aku mulai waspada. Motorku berjalan lagi, kali ini kunaikkan kecepatan 50 km per jam. Kulirik dari spion, mereka pun menaikkan kecepatan dan sepertinya menjaga jarak agar tetap sama, yaitu sekitar 10 meteran. Dari caranya mengendarai, sepertinya laki-laki yang memboncengkan laki-laki juga.
“Oke, kita lihat apa yang kalian inginkan,” gumamku.
Ini mulai tidak menyenangkan dan aku mulai berpikir untuk segera menjauh dari mereka, meskipun di sisi lain penasaran juga. Aku memutuskan batal untuk beli lotek di warung dekat swalayan Atria dan memilih untuk berjalan terus. Kususuri Jalan Ronggowarsito, lewat depan RS PKU Muhammadiyah. Kulirik lagi di spion, motor itu masih juga seperti mengikutiku. Selepas depan Superindo, aku kembali berhenti dan ternyata motor itu juga memperlambat kecepatan. Tetapi kali ini mereka tidak berhenti di belakangku, malah menjajariku.
Aku menaikkan kewaspadaan. Namun sebelum aku bisa berpikir banyak, motor itu berhenti tepat di sampingku, lalu orang yang ada di boncengan belakang tiba-tiba mengeluarkan seperti botol ukuran wadah air mineral kecil yang tak ada tutupnya dan dengan cepat menyiramkan ke arahku, sebelum kemudian ngebut meninggalkanku.
Refleksku bekerja cepat. Entah apakah cairan itu, tetapi aku berhasil menghindar dengan cepat, meskipun tangan kananku sedikit juga. Kulihat jaket kulit yang kugunakan sedikit berasap. Air keras! Dengan cepat dan berusaha sehati-hati mungkin kulepas jaketku sebelum itu mengenai kulitku. Kulempar jaket itu ke selokan yang ada di sisi kiriku. Tapi tak urung aku merasakan perih pada tanganku, di area antara pergelangan tangan kanan hingga siku tangan kanan. Aku terus memejamkan mata dan memalingkan wajah supaya tak terpapar air keras yang mengenai tanganku.
Seorang pemuda yang kebetulan berjalan di dekat tempatku berhenti, mendekatiku cepat. Dia sepertinya tahu apa yang terjadi padaku. Dia menggunakan air mineral yang dibawanya, lalu dengan cepat menyiramkannya ke tanganku, di area yang kurasakan panas.
“Waduh, Pak … ini air keras. Paaaak! Minta air cepat!” teriak pemuda itu ke arah seberang, di mana ada tukang tambal ban. Aku merintih karena tanganku semakin perih. Kulihat tukang tambal ban tergopoh-gopoh menyambangiku dengan membawa ember hitam kecil berisi air.