Hidupku semeriah ini berlakunya. Aku terdiam di depan pintu rumah sesaat, memikirkan apa yang baru saja aku alami. Aku pulang tanpa memberitahu istriku sebelumnya bahwa aku mengalami musibah. Motorku akan diambil orang suruhan kantor, sementara aku pulang dijemput oleh sopir kantor. Tangan kananku masih nyeri, susah untuk mengendarai motor sendiri. Motorku, kalau kata sopir kantor yang diminta ikut membantu mengurusnya, dititipkan di tukang tambal ban seberang tempat kejadian perkara. Selain itu, jaket kulitku yang kubuang, sudah diamankan, entah dengan apa, karena bila sembarangan mengambilnya akan berbahaya, bisa terkena paparan air keras.
Sampai di rumah, istriku kaget melihat tangan kananku dibalut perban. Wajahnya tampak khawatir dan seribu tanya sepertinya sudah berjejal di benaknya. Aku tersenyum kepadanya, supaya dia tenang. Aku duduk di sofa dan memberi kode agar istriku duduk di samping.
“Ini kenapa, Mas?” ujarnya dengan wajah agak panik.
“Tenang, nggak apa-apa. Aku dapat musibah kecil,” kupandangi dia lekat-lekat, lalu mengusap telapak tangannya. Mimik mukanya seperti membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Baiklah, aku akan menceritakan semuanya kepadanya.
Kuceritakan dari mulai aku berkendara hingga dibuntuti orang, lalu tiba-tiba aku disiram air keras oleh orang itu. Tetapi untungnya Tuhan masih melindungi. “Kamu ingat soal sogokan itu? Aku sempat mengancam akan menuliskannya di koran. Rupanya sangat menganggu mereka. Ada dua orang yang tadi membuntutiku, lalu di jalan, dekat RS PKU Muhammadiyah, dia menyiramkan air keras. Untung aku bisa refleks menghindar, namun tetap tangan kananku terkena paparan air keras,” aku bercerita dengan sekalem mungkin.
Istriku terkejut. Dia heran kenapa aku tidak memintanya datang ke rumah sakit. “Kenapa tidak meneleponku?”
“Buat apa? Kamu lihat aku kepayahan? Nggak kan? Aku masih sehat dan bisa jalan. Hanya tangan kananku melepuh. Untung tadi ada orang yang menolongku. Kalau sudah begitu, mubazir rasanya aku menelepon kamu.”
“Tapi aku bisa menemanimu di rumah sakit, siapa tahu kamu butuh sesuatu,” kejar istriku lagi.
“Sudahlah, tidak apa-apa kok. Tadi juga Imam datang mendampingiku. Sudah diobati dan hanya perlu kontrol ke rumah sakit. Hari ini aku tidak masuk kerja,” kataku.
Istriku pamit ke dapur untuk membuatkanku teh hangat. Dia bilang, di meja makan sudah tersedia sayur asem dan sambal terasi kesukaanku, dengan lauk ikan salem goreng dan tempe tahu. Aku mengucapkan terima kasih. Selalu tak lupa kuucapkan itu setiap dia menawarkan masakannya. Dia selalu terlihat senang kulakukan itu, karena tak hanya mengucapkan terima kasih, aku selalu melahap semua masakannya, tak pernah kubiarkan tak dimakan.
Untuk beberapa saat aku masih seperti orang linglung. Diam cukup lama untuk mencerna apa yang baru saja kualami. Sepanjang aku menjadi wartawan, belum pernah mengalami teror sebrutal ini. Paling banter hanya ancaman lewat pesan singkat di handphone, atau kadang telepon langsung. Tapi tidak pernah ada yang senekat ini.
Meskipun dalam kondisi pikiran kacau, hari ini aku memutuskan tetap akan mengetik berita-beritaku. Padahal Imam memintaku untuk tidak memikirkan soal pekerjaan dulu. Aku minta Imam untuk menyisakan space untuk berita teror yang kualami. Imam memastikan akan ada space itu, bahkan kemungkinan akan diproyeksikan ke halaman satu koran kami. Bila memang demikian, ini akan menjadi pukulan telak bagi siapapun yang menerorku. Imam berjanji akan mengurus semuanya, termasuk soal laporan ke polisi.
Sejak aku sampai di rumah, pesan di handphone-ku tak pernah berhenti, mulai dari pemimpin redaksi, bahkan hingga bos-bos di bagian bisnis, serta teman-teman wartawan di kantor. Mereka menawarkan bantuan, apapun, bila aku membutuhkan. Tentu ini dukungan yang luar biasa bagiku. Beberapa orang bahkan mengirimkan makanan ke rumah. Kalau soal solidaritas, wartawan memang memiliki solidaritas antarsesama pekerja media. Meskipun ada perkecualian seperti yang dilakukan Pak Agung kepadaku.
“Minum dulu, Mas,” kata istriku yang muncul dari dalam, lalu meletakkan segelas teh hangat di meja ruang tamu.
Kuambil gelas itu, kuteguk sedikit teh hangat buatan istriku. Dia paling jago bikin racikan teh. Dulu, dia sempat melakukan eksperimen mencampur beberapa merek teh, yang akhirnya menurutku paling pas adalah campuran dari teh Dandang, teh Gopek, teh Nyapu dan teh 999. Keempatnya dicampur, lalu diseduh dengan air panas dan dibiarkan beberapa saat. Hasilnya, teh yang kental, sepet, serta harum khas teh nikmat di Solo. Seperti yang kunikmati saat ini. Aku beruntung memiliki istri yang senang memasak dan senang bereksperimen membuat minuman.
“Tolong nanti kalau kamu sudah longgar, tebus obat ini di apotik Kondang Waras. Aku tidak bisa keluar karena habis ini masih harus ngetik berita,” pintaku. Istriku meraih resep yang kuberikan dan menyimpannya. Untuk saat ini ada beberapa obat yang diberikan oleh rumah sakit, namun beberapa obat lain aku harus tebus sendiri di luar rumah sakit.
Ini sepertinya tidak main-main lagi. Aku berpesan kepada istriku untuk berhati-hati. Bila jalan keluar rumah, usahakan selalu berada di keramaian. Setiap aku tidak ada di rumah, usahakan tetap berada di dalam dan jangan menerima tamu dulu. Aku juga berpesan kepada istriku untuk menyimpan nomor-nomor penting yang sekiranya bisa dihubungi.