Solo, 14 Oktober 2008
Istriku membuka menatap halaman satu koranku, di mana berita tentangku dimuat ....
Malam itu seperti malam biasa bagi Udin. Seperti halnya rutinitas wartawan pada umumnya, pulang malam dari kantor menjadi hal yang tidak aneh. Bahkan terkadang hingga dini hari baru keluar dari kantor. Udin mengendarai Honda Tiger tahun 2000 kesayangannya, menjemput rehat di rumah untuk berkumpul bersama keluarga. Waktu saat itu menunjukkan pukul 21.30 WIB, tanggal 13 Agustus 1996.
Udin sampai di rumah. Tapi yang tak pernah dia tahu, hari itu akan menjadi hari terakhir dia pulang ke rumah dan rutinitas itu tak akan tampak lagi bagi keluarga Udin. Malam itu maut menjemput Udin. Seseorang tak dikenal memukulnya, menghantam kepalanya dengan besi dan menyodok perutnya. Semua terjadi begitu cepat saat laki-laki itu menginjakkan kaki di rumah. Udin terkapar tak sadarkan diri. Keluarga membawanya ke rumah sakit, namun tiga hari kemudian Udin dinyatakan meninggal dunia setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
Udin dibunuh orang tanpa tahu apa motif pembunuhan itu dan siapa pelakunya, hingga sekarang. Banyak pihak menduga, ini terkait pemberitaan yang ditulis Udin, soal liputan pemilihan Bupati Bantul. Udin menulis tentang kebobrokan pemerintahan petahana yang kembali ingin mencalonkan diri. Pemerintahan di bawah petahana sebelumnya dinilai penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin adalah wartawan Harian Bernas, Yogyakarta, yang bertugas di Bantul. Semasa hidupnya, Udin adalah wartawan yang kerap membuat telinga penguasa panas. Dia mengkritik pemerintahan yang penuh KKN. Berita-berita tulisannya tak hanya menjadi pukulan telak bagi pemerintah daerah, namun juga membuat pemerintah Orde Baru kala itu kebakaran jenggot.
Kata sang isteri, Udin adalah sosok wartawan yang berprinsip keras, kalau memang ada kesalahan oleh pejabat, maka harus diberitakan sesuai fakta, karena memang demikian seharusnya tugas wartawan. Sejak kematiannya, polisi tak mampu menuntaskan kasus tersebut.
Tak berbeda dengan Udin, kemarin siang, wartawan Harian Suara Kota, nyaris mengalami hal buruk seperti yang dialami Udin. Margono, wartawan Harian Suara Kota yang bertugas di desk politik, disiram air keras jenis yang paling berbahaya oleh dua orang tak dikenal. Peristiwa ini terjadi tepatnya saat Margono selesai liputan dan akan kembali ke kantor. Saat berada di Jalan Ronggowarsito, sebelah barat RS PKU Muhammadiyah, seseorang mendekatinya dan kemudian melakukan penyiraman air keras. Beruntung Margono berhasil menghindar, namun tak urung tangan kanannya terpapar air keras dan melepuh. Sebelumnya, seperti yang dialami Udin, Margono menulis pemberitaan tentah alih fungsi kompleks kios oleh pemerintah, yang membuat pihak-pihak tertentu terganggu dengan pemberitaan itu. Nasib Margono lebih beruntung daripada Udin. Namun, apapun, kekerasan terhadap wartawan harus dihentikan ….
Istriku menutup koran itu.
Dia lalu memandang ke arahku dengan wajah cemas. Aku tersenyum ke arah istriku dan memastikan semua akan baik-baik saja. “Aku tidak tahu kalau Imam akan memulai berita itu dengan ilustrasi dan flashback kasus Udin. Tetapi sebenarnya, apa yang kualami konteksnya sama. Bedanya, aku lebih beruntung,” kataku.
“Bukannya ini justru akan makin membahayakan kamu, Mas? Mungkin juga akan berimbas ke kita?” tanya istriku.
“Bisa jadi. Tetapi kalau sudah diketahui masyarakat begini, maka kemungkinan pihak-pihak yang ingin mencelakakan aku akan tiarap dulu. Semoga seperti itu,” imbuhku.
Aku sebenarnya tak pantas disandingkan dengan Udin. Bagiku, Udin sosok wartawan yang berintegritas dan memiliki dedikasi luar biasa. Menegakkan fungsi pers sebagai “anjing penjaga” yang terus menyalak saat penguasa mulai melakukan penyelewengan demi memperkaya diri, melanggengkan kekuasaan. Aku masih jauh dari itu. Masih banyak pekerjaan rumahku untuk membongkar hal-hal lebih besar, yang menimbulkan kerugian bagi rakyat dalam jumlah yang lebih besar pula. Tapi aku tahu maksud Imam dengan menampilkan kembali kisah gelap tentang Udin. Imam ingin mengingatkan bahwa kekerasan kepada wartawan adalah nyata dan masih terus terjadi.
Tulisanku yang dipoles Imam itu memang membuat dampak yang luar biasa. Sejak pagi, notifikasi pesan menyerbu handphone-ku, bahkan mencari ratusan jumlahnya. Tak hanya dari rekan-rekan wartawan, tetapi juga keluarga besar, teman-teman kampusku dulu, sekolah, hingga pejabat, pengusaha dan orang-orang penting yang pernah menjadi narasumberku dan masih menjalin relasi denganku. Organisasi wartawan menawarkan pendampingan hingga ditemukan siapa pelakunya, karena kasusku menjadi contoh betapa ancaman kebebasan pers adalah nyata. Beberapa pengacara yang kukenal juga menawarkan pendampingan hukum, meskipun kemudian aku tolak karena semua sudah di-backup oleh tim legal kantor.
Wali kota hanya berkomentar, “Kami tentu akan mengikuti proses hukum. Kalau memang pemberitaan soal salah satu dinas di bawah pemerintahan ada kaitannya dengan teror kepada wartawan, kami akan menggali informasi ini lebih lanjut. Akan ada investigasi secara internal. Jadi saya belum bisa memberikan komentar lebih jauh untuk saat ini.”
Jawaban normatif yang sudah ketebak. Tetapi kasusku ini sebenarnya sudah jadi alarm pengingat bagi wali kota, bahwa ada yang tidak beres di tingkatan anak buahnya dan dia harus segera bertindak. Yang menarik, dari banyaknya telepon dan notifikasi pesan di handphone, ada juga pesan yang memaki-maki aku dan menyebutku layak mati. Aku tahu, mereka-mereka yang menerorku ini hanya cecunguk-cecunguk bayaran yang tak perlu kupedulikan.
“Seharusnya kamu sudah mati.”
“Jangan mencubit kalau tidak mau dicubit. Kami tahu rumahmu dan keluargamu.”