Solo, 20 Oktober 2008
Teror paket misterius minggu lalu yang berisi bangkai tikus, adalah teror terakhir yang kualami. Mungkin pelakunya berpikir ulang untuk meneror lagi setelah aku secara terus menerus menuliskannya di koran terkait teror itu hingga perkembangan laporanku ke kepolisian. Sejujurnya, yang off the record, belum ada progress signifikan dari hasil penyelidikan polisi. Sederhananya, polisi mengalami jalan buntu. Tapi setiap jumpa pers, mereka tidak mengatakan itu. Aku hanya pasrah menunggu kasus ini terselesaikan dan pelakunya tertangkap.
Di sisi lain, kaitannya dengan berita yang aku tulis, wali kota belum menyampaikan penjelasan tentang penyelidikan internal yang mereka janjikan, terkait alih fungsi kompleks kios. Tapi aku mendengar bocoran, Bu Etiek sedang dalam proses mutasi.
Hari ini, selepas Jumatan, aku juga diundang teman-teman untuk memberikan testimoni dalam aksi damai pernyataan sikap media terkait kriminalisasi yang kualami, sebagai bentuk solidaritas antarpekerja media. Aku mendukung penuh aksi ini dan bersedia untuk berbicara dalam aksi damai yang digelar di halaman depan Polresta. Ancaman-ancaman terhadap pekerja media sudah dalam titik yang mengkhawatirkan. Bagaimana bila kemarin air keras berhasil menyiram tubuhku? Wajahku? Mataku? Ini aksi kriminal yang brutal dan teman-teman wartawan sepakat tidak bisa membiarkan persoalan ini selesai tanpa bisa menangkap pelakunya.
Aksi damai yang dilakukan sekitar 20-an wartawan itu berhasil menarik perhatian masyarakat, karena semua media cetak memuatnya di halaman-halaman utama. Media elektronik seperti televisi dan radio bahkan menaikkan berita itu lebih cepat dan pada hari yang sama selepas aksi damai dilakukan. Kapolresta yang hadir dalam kesempatan itu menjanjikan akan serius menindaklanjuti kasus teror yang kualami. Forum-forum diskusi yang digagas teman-teman dari beberapa organisasi wartawan juga mulai menggulirkan isu ini, termasuk juga teman-teman wartawan mengisi sejumlah acara di radio dan televisi lokal. Di titik ini, aku senang karena kasus yang menimpaku bisa menjadi pengingat bagi teman-temanku untuk berhati-hati saat melaksanakan tugasnya.
Pada aksi damai itu, kami juga menyampaikan data dari Dewan Pers, bahwa sepanjang 2008, tercatat 22 kekerasan yang menimpa awak media. Kasus kekerasan ini banyak melibatkan pejabat publik. Jenis kekerasannya mulai dari perampasan kamera, pemukulan, penganiayaan, hingga kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Ini sesuatu yang harus disikapi secara serius.
Sejujurnya aku tidak yakin kasusku akan selesai. Sejujurnya juga, aku ingin segera move on dari kasus ini karena pada akhirnya ini benar-benar membawa dampak buruk bagi aku dan istriku. Ini sangat melelahkan. Aku juga mengkhawatirkan kehamilan istriku akan terganggu karena istriku secara psikis tertekan juga oleh kasusku. Kami berdua berpikir untuk rehat dari segala kegaduhan ini untuk sementara. Usulan Imam agar aku mengambil cuti besarku, akhirnya kupertimbangkan. Hingga akhirnya aku dan istriku sepakat aku harus cuti.
“Seperti usulmu, aku ingin mengajukan cuti besar, sebulan, untuk menenangkan diri. Aku khawatir ini akan berdampak buruk bagi istriku yang sedang hamil. Kami berencana akan ke Jakarta untuk istirahat,” kataku saat mengajukan persetujuan cuti kepada Imam, sebelum kemudian pengajuan ini diproses bagian SDM.
Imam terdiam sesaat. Sebelum kemudian tersenyum.