8 November 2008
Siang itu kami goleran di karpet, di ruang tengah sambil menonton televisi. Hari Sabtu, Mas Marwono libur kerja dan bila biasanya mereka rekreasi keluar rumah bersama istri dan anak semata wayangnya, Jose, hari ini mereka memilih bersantai bersama kami. Tawaran rekreasi bersama kutolak, mengingat istriku hamil dan aku tidak mau dia capek. Tak banyak hal di Jakarta yang memesonaku saat ini. Bagiku jauh lebih nikmat berkumpul bersama keluarga di rumah, sambil makan-makan.
Akhirnya kami nyantai sambil ngobrol dan menikmati aneka hidangan. Jose masih berusia 3 tahun dan tampak asyik bermain dengan koleksi mainannya yang super lengkap. Mas Marwono memang tidak sekaya itu, namun hidupnya sangat kecukupan. Rumahnya dua lantai, kami tinggal di lantai 2, dengan luas sekitar 200 meter persegi. Di garasinya terdapat dua mobil, satu mobil pribadi buat aktivitas Mas Marwono yaitu Mitshubishi Pajero keluaran baru, satu lagi mobil untuk keluarga yaitu Kijang Innova.
“Aku sebenarnya tidak ingin mengontrakkan lagi rumah warisan itu, Gon. Biar rumah itu jadi rumah Keprabon, tempat anak cucu Bapak dan Ibu kumpul, misalnya saat Lebaran. Bukannya aku tidak mau bayar hotel kalau ke Solo, ya … tapi bagiku lebih nyaman tinggal di rumah sendiri. Rumah di mana Bapak Ibu dulu berjuang mati-matian untuk membelinya, sambil kita bernostalgia bersama,” ujar Mas Marwono.
Aku terdiam. Ini situasi berat bagi aku, karena bagaimana pun uang hasil mengontrakkan rumah itu aku butuhkan sebagai salah satu cara untuk menegakkan finansial keluargaku. Gaji wartawan hanya cukup untuk hidup sehari-hari. Apalagi tahun depan, kalau anakku lahir, tentu kebutuhanku semakin banyak.
“Sudah, akhir tahun ini jangan dikontrakkan lagi ya? Nanti nilai uang yang selama ini kamu terima dari pembagian uang kontrak, aku yang kasih. Jadi kamu tetap mendapatkan uang. Rumah itu kamu tempati saja,” usul Mas Marwono.
“Tapi kontrakanku masih setahun lagi. Sudah bayar juga, sayang kalau tidak dilanjutkan,” kataku tentang rumah kecil yang kini kutempati.
“Ya sudah, tetap stop dulu menyewakan rumah warisan. Kamu jaga aja, bersihkan, atau dibenerin sekalian yang rusak-rusak, nanti aku yang bayar. Baru setelah tahun depan kamu habis kontrak, kamu pulang ke rumah warisan.”
Aku mengangguk. Kalau Mas Marwono mau memberi subsidi begitu, tentu aku mau. Mbak Ina, istri Mas Marwono masuk membawa kroket hangat yang tadi digorengnya. Istriku masih di dapur. Aku bersyukur karena istriku dan istrinya Mas Marwono bisa akur. Mereka juga memiliki hobi yang sama, yaitu memasak.
“Gon, mbok sudah pindah Jakarta. Bikin usaha sendiri. Ini lho ada saudara istriku yang bikin percetakan tapi butuh orang jujur untuk menjalankannya. Kamu bisa belajar sama dia sambil kerja. Nanti kalau kamu bosan dan pengen buka usaha sendiri, ya nggak apa-apa. Daripada kamu jadi wartawan, hidupmu diteror orang, gaji nggak seberapa taruhannya nyawa.”
Sudah kutebak akan ada topik ini saat aku bertemu Mas Marwono. Aku tersenyum, tidak bisa menyatakan tidak, tapi juga belum mengiyakan, “Aku pertimbangkan dulu, Mas.”
“Kamu itu saudara satu-satunya, Mas Marwono. Dia itu kalau curhat sama aku, maunya tuh ngajak kamu ke Jakarta. Dia pengen juga kita sering bersama-sama, jalan bareng, makan bareng, ada apa-apa bisa saling bantu. Dia selalu ngomong gitu. Coba kurang sayang apa Masmu itu?” imbuh Mbak Ina.
Aku tersenyum. Aku memang merasakan benar Mas Marwono sangat sayang kepadaku. Hubungan kami sejak kecil sangat kuat. Dia selalu menjadi pelindungku. Kami melewati masa-masa susah bersama, saat usaha bapak dan ibu masih warungan kecil. Begitu usaha makin besar, kami juga mengalami masa senang bersama. Mas Marwono sering mengungkapkan rasa ibanya kepadaku saat melihat aku masih menggunakan motor untuk kerja dan tinggal di rumah sangat sederhana. Beberapa kali dia mengungkapkan keinginannya untuk membelikan aku mobil bekas secara cash, tapi aku menolak.
“Oya, sini aku minta rekeningmu. Nanti aku transfer uang buat calon jabang bayimu. Kamu kan pasti butuh kontrol, butuh mempersiapkan ini itu, istrimu harus mengkonsumsi makanan bergizi, jadi pasti pengeluaranmu banyak,” kata Mas Marwono.
Aku terkejut. Tetapi sedikit banyak aku lega juga karena saat ini tabunganku hanya sisa Rp10 juta. Untuk segala macam keperluan bisa-bisa habis sudah. Aku bangkit, mengambil kertas dan pensil di meja tak jauh dari tempat kami goleran. Kutuliskan nomor rekeningku dan kuserahkan kepada Mas Marwono. Sudah tidak perlu sungkan lagi, toh dia adalah kakak kandungku satu-satunya. Apalagi ini dilakukan di depan istrinya, jadi tidak ada yang disembunyikan.