19 November 2009
Setelah awalnya kami berhaha-hihi akrab dan Imam menyantap beberapa oleh-oleh yang kubawakan dari Jakarta, tak lebih dari 15 menit kemudian Imam kembali ke tujuan semula saat ingin bertemu denganku. Wajahnya berubah serius, menatapku.
“Berat aku mengatakan ini, Mas Gono. Tapi aku diperintahkan kantor untuk menemui Mas Gono untuk melakukan klarifikasi atas dugaan kantor terhadap Mas Gono,” kata Imam membuka omongan serius. Kedua telapak tangannya saling beradu digesek-gesekkan, seperti bingung mau bersikap bagaimana.
“Sudah, Mam … nggak usah pakai pengantar yang panjang. Langsung kepada inti persoalan. Insha Allah aku akan siap menghadapi apapun itu,” jawabku datar, meskipun dalam hatiku ada gelegak dahsyat. Ini pasti sesuatu yang serius, berat dan tidak baik untukku.
“Senin tanggal 10 November, ada surat kaleng yang diterima oleh sekretariat redaksi. Isi surat itu adalah, ada aliran dana sebesar Rp10 juta yang masuk ke rekening Mas Gono, yang dikirimkan oleh salah satu pejabat dinas. Transfer uang ini terkait pemberitaan yang dilakukan Mas Gono. Dalam surat kaleng itu, dijelaskan bahwa Mas Gono menyepakati pemberian uang itu, salah satu indikasinya adalah mereka memiliki rekening pribadi Mas Gono,” Imam menghentikan kalimatnya lalu menghela napas panjang.
Aku melongo. Benar-benar tidak menyangka akan mendengar itu meskipun sebelumnya sudah mempersiapkan diri untuk mendengar hal yang buruk. Kepalaku seperti dihantam palu, berkali-kali dengan kekuatan penuh.
“Astagfirullah … sungguh fitnah yang sangat keji." Aku mencoba menahan emosiku.
“Surat kaleng itu juga menunjukkan struk transferan ATM senilai Rp10 juta dengan tujuan ke nomor rekeningmu, Mas. Kami sudah merapatkan ini dan menunggu cuti Mas Gono selesai biar tidak mengganggu. Tetapi keputusan kantor adalah harus mengklarifikasi apakah hal itu benar? Apakah Mas Gono menerima uang itu?”
Aku terdiam, seperti mendadak membatu, mengumpulkan semua energiku dan meredam amarah yang menggelegak di dalam hati. Kuhela napas panjang, sebelum kemudian aku berucap.
“Demi Allah, aku tidak pernah menerima uang dari narasumber. Apalagi untuk kepentingan berita. Aku sudah cerita ke kamu, bahkan aku disogok segepok uang oleh Bu Etiek Sunarti pun aku tolak. Kamu tahu? Saat itu kami sedang butuh uang. Sangat membutuhkan uang. Tapi kamu tahu aku, Mam, kamu tahu aku. Aku tidak sesepele itu. Kamu tahu benar aku,” tegasku. Emosiku mulai sedikit naik. Imam tak kalah gelisah. Dia seperti mendapatkan tugas yang amat berat dari kantor untuk menyampaikan ini kepadaku.
“Karena … itulah, kenapa aku minta Mas Gono menge-print buku tabungan. Supaya kita bisa sama-sama memberikan jawaban ke kantor, bahwa Mas Gono tidak menerima uang itu,” imbuh Imam yang mencoba berbicara dengan sangat hati-hati.
“Bu … coba ambilkan buku tabungan,” teriakku.
Tak lama istriku muncul dengan membawa buku tabungan. Tadi pagi aku ke bank untuk memenuhi permintaan Imam. Aku tidak berpikir jauh soal ini dan melakukannya seperti tak akan ada masalah apapun. Kuterima buku dari istriku, lalu letakkan di meja.
“Silakan cek,” kataku. Aku mulai kesal. Sebenarnya aku tidak kesal dan marah kepada Imam, karena aku tahu benar Imam hanya melaksanakan tugas yang dibebankan oleh kantor. Tetapi semua persoalan ini, fitnah ke aku, seperti menghapus kegembiraan cutiku sebulan yang baru saja berakhir. Begitu selesai cuti, sudah segar, semangat untuk bekerja kembali, eh tiba-tiba disodori masalah lagi.
Imam tampak membuka buku tabunganku. Saldo yang tertera di sana adalah Rp30 juta sekian. Sebanyak Rp10 juta adalah tabunganku, sementara Rp20 juta adalah transferan dari Mas Marwono. Sudah itu saja, aku tidak pernah mendapatkan transferan dari orang lain.
“Kalau tidak salah, tanggal 8 November 2008, aku mendapatkan transferan dari Mas Marwono, kakakku, sebanyak Rp20 juta,” jelasku kepada Imam.