Jakarta, 9 Juni 2013
Nama “Kabul Jaya” mungkin terlihat kampungan. Tetapi aku orang yang tak peduli keindahan nama dan lebih mementingkan nilai makna yang terkandung dalam nama itu. Terkabul doa-doa baikku dan jayalah terus usahaku. Mas Marwono ngakak saat aku memutuskan memilih nama itu sebagai nama CV untuk usaha percetakanku. Tapi dia juga orang yang tak peduli dengan soal beginian, hanya memang terlihat lucu saja.
Usahaku ini lahir dari peran Mas Marwono yang mampu melihat tanda. Aku ingat saat cuti besar yang kuhabiskan di rumahnya, Mas Marwono sudah menyediakan diri untuk memberi jalan bagiku menerjuni dunia bisnis. Pilihannya adalah, aku magang kerja di perusahaan percetakan saudara istrinya, sampai aku bisa berdiri sendiri, atau aku langsung bikin usaha sendiri sambil jalan. Sodoran ide yang awalnya sok-sokan kutolak. Tapi begitu aku dipecat dari tempatku bekerja selepas cuti itu, tak butuh waktu lama aku menelepon Mas Marwono.
"Ya aku mau pindah Jakarta dan ikut magang kerja di percetakan saudaranya Mbak Ina.”
Saat kuputuskan untuk pindah ke Jakarta setelah sebulan aku dipecat dari kantor, istriku kaget. Tetapi dengan segala daya upaya dan berbusa-busa menyampaikan banyak alasan, akhirnya istriku menerima. Satu hal yang tidak diketahui istriku adalah, bila aku tetap di Solo maka hidupku tak akan pernah tenang. Aku juga tidak mengatakan kepada istriku tentang sesuatu yang amat penting. yaitu aku mendapatkan informasi bahwa Pakde memiliki peran dalam pemecatanku. Hasil investigasiku dan dibantu oleh sejumlah teman-teman wartawan, Pakde adalah orang yang memberikan alamat dan nomor telepon Mas Marwono kepada orang yang menerorku, seperti yang tertulis di paket misterius. Pakde pula yang memberikan nomor rekeningku kepada orang yang menjebakku dengan sejumlah uang, sehingga aku dipecat karena dianggap menerima sogokan. Dua hal itu mudah saja dilakukan Pakde karena bagaimanapun dia saat ini termasuk keluargaku juga.
Kenapa Pakde melakukan itu? Dia ketakutan karena aku pernah menyoal tentang pengadaan laptop yang berpotensi melanggar peraturan perundangan. Ingat, aku pernah mengancamnya akan menuliskan isu dugaan korupsi yang dilakukan komisi 1 DPRD terkait pengadaan laptop. Dengan aku dipecat, maka upaya untuk menaikkan isu penyalahgunaan anggaran pengadaan laptop itu kemungkinan besar tak akan terjadi. Dia tahu benar, aku tidak akan gentar untuk menulisnya bila itu memang salah. Berbeda dengan wartawan lain yang gampang digertaknya. Maka untuk menghentikanku dia bersekutu dengan Bu Etiek untuk menyingkirkanku.
Jadi sebenarnya, yang menerorku dan berperan dalam pemecatanku adalah Bu Etiek dan Pakde. Tentu keduanya hanyalah simbol dari gerbong korup panjang di belakangnya. Keduanya memiliki kesamaan kepentingan untuk menghancurkanku, dan berhasil! Seberapa besar tingkat kebenaran analisisku ini? 95%. Sejak itu aku tak pernah bertemu Pakde karena dia selalu menghindar. Istriku masih kerap bertemu, tetapi dia juga bertanya-tanya kenapa Pakde sikapnya berubah dan lebih banyak diam.
Politik sekotor itu. Bahkan di titik ini, mungkin aku hanya remahan yang gampang disingkirkan. Kasus teror air keras yang menimpaku pun mandek di tengah jalan dan polisi angkat tangan. Kantorku mulai lupa, teman-temanku tak lagi peduli. Aku harus memupusnya dan memutuskan ikhlas, lalu pindah ke Jakarta.
Mas Marwono tahu benar bahwa aku tidak akan lama di media. Kata dia waktu itu, orang yang membutuhkan cuti sebulan hanya untuk menenangkan diri dari rutinitas kerja, adalah orang yang tidak mencintai pekerjaannya. Aku pikir benar juga. Mungkin aku tidak sadar bahwa aku mulai tidak menikmati pekerjaanku sebagai wartawan saat itu. Melelahkan, tepatnya bikin stress.
Akhir 2008, akhirnya aku dan istriku benar-benar meninggalkan Solo. Itu sebuah keputusan yang sulit mengingat aku tidak pernah merantau sebelumnya dan harus memulai semua hal dari nol. Mana istriku sedang hamil pula. Kami tinggalkan kontrakan yang kami sewa, padahal masih setahun. Pemiliknya sampai tidak enak hati dan ingin mengembalikan uang separuh, tapi kutolak. Rumah warisan juga tidak kami sewakan lagi, berhenti di akhir 2008. Rumah itu kubersihkan sebelum aku merantau, lalu sisanya kutitipkan penjagaan dan perawatannya pada Pak Lanjar, seorang tetangga yang selama ini bekerja serabutan.
Dari tahun 2009, aku mulai magang kerja di perusahaan percetakan milik saudara istrinya Mas Marwono bernama Pak Banu Sunindyo. Dia selama ini juga rekan bisnis mebelnya Mas Marwono yang baik dan terpercaya. Selain mebel, dia membuka usaha percetakan yang umurnya baru setahun. Kata Pak Banu, seperti dikatakan Mas Marwono, dia butuh pekerja yang jujur yang bisa membantunya. Karena karakter Mas Marwono sudah teruji, maka Pak Banu meminta tolong dicarikan orang itu. Saat disodorkan aku, dengan embel-embel adik kandung Mas Marwono, Pak Banu tanpa pikir panjang mengiyakan. Aku bilang ini adalah magang kerja, tetapi bukan seperti anak sekolah magang di perusahaan. Ini hanya caraku untuk belajar bisnis dan teknis percetakan dengan "menempel" di usahanya Pak Banu.