Jakarta 14 Maret 2014
Aku tidak pernah berusaha membuat istriku mengalihkan dukungan kepada calon presiden yang aku pilih. Aku tidak mau mempengaruhinya. Sayangnya, tidak dengan sikap istriku. Dari setiap diskusi yang berujung pertengkaran di antara kami, ada kecenderungan dia ingin aku mengubah dukungan dan memilih calon presiden yang sama dengan pilihannya.
Istriku agresif sekali soal mendukung calon presiden ini, meskipun belum secara resmi dideklarasikan. Aku pernah melihatnya ngobrol dengan temannya bernama Nani yang bertamu ke rumah. Istriku dengan berapi-api mengunggul-unggulkan calon presidennya seakan-akan satu miliar rupiah telah ditransfer ke rekeningnya oleh tim sukses calon presiden pilihannya. Aku hanya bisa mengurut dada.
“Nani kan belum tentu memiliki pilihan yang sama denganmu. Kalau beda pilihan, kan dia menjadi tak nyaman. Kulihat dia juga cuma hah-hoh-hah-hoh melihatmu ngomong berbusa-busa. Janganlah seperti itu. Ngobrol saja hal-hal biasa, nggak usah ke politik. Ngobrol aja soal resep masakan, atau bisnis online kek, itu malah aku cocok,” tegurku.
Kalimat panjangku yang memantik api amarah pada diri istriku. Panjang urusannya, dari ngomel-ngomel tak ada putusnya, hingga berakhir tak ada makan malam hari itu. Aku sebenarnya tahu benar risiko ini. Tetapi aku tidak bisa menahan diri melihat istriku bertingkah demikian. Harusnya, kalau ditegur suami dia patuh. Kadang aku merasa, sikap istriku yang ugal-ugalan membela calon presidennya ini justru membuatku semakin membenci calon presidennya. Dilihat dari upaya istriku ingin membuatku satu suara mendukung calon presidennya, sikap istriku justru kontra produktif karena buktinya aku semakin tak suka dengan calon presiden pilihannya.
Situasi yang kerap memanas ini sudah berlangsung sejak 2013 dan semakin memuncak saat memasuki 2014. Dalam setiap pertengkaran yang sebisa mungkin aku hindari, istriku selalu menggunakan senjata lamanya untuk menyerangku. Tentang bagaimana korupnya pemerintahan calon presiden yang aku dukung saat masih memimpin kota, soal anak buahnya yang korup dan berupaya menyogokku, teror-teror itu, serta tak lupa soal sumbangan Rp2,5 juta di resepsiku. Begitu terus, berulang dan membosankan. Sikapnya sudah membabi-buta. Mungkin egonya tertohok, karena orang lain saja bisa dipengaruhi, ini suaminya malah susah sekali ditaklukkan.
Hari ini, istriku juga senewen berat dan sensi saat aku terlihat asyik ngobrol dengan Puguh di sela-sela kami kerja, tentang pendeklarasian calon presiden yang kudukung. Dia adalah wali kotaku dulu. Puguh pun bersemangat dan menyatakan dukungannya, tanpa aku pernah berusaha meminta dia. Kami berdua ngobrol sambil asyik menonton berita di televisi tentang pendeklarasian calon presiden pilihanku itu.
“Gue demen nih sama yang kalem-kalem gini. Apalagi sekampung sama si bos. Eh, serius si bos kenal?” tanya Puguh dengan mata berbinar.
"Psssstt .... " kularang dia berbicara keras-keras.
"Iya, hihihi ... bener kan, bos kenal dia?" tanya Puguh dengan setengah berbisik.
“Iya … tapi bukan yang kenal-kenal dekat begitu. Aku dulu kan wartawan, jadi ya punya akses untuk ketemu dan ngobrol sama beliau yang waktu itu wali kota,” kataku mencoba merendah, meskipun sebenarnya bangga.
“Beuuh … hebat! Gue doain jadi. Biar kita nanti gampang mau main ke istana negara. Kan orang dalam … teman sekampung hahaha,” Puguh cekikikan.
“Ya, enggak bisalah. Kita ini siapa? Emang kayak kamu sama si siapa itu sahabat terbaikmu?”
“Nando,” jawab Puguh cepat.
“Nah, itu … Nando. Kami nggak sedekat seperti kamu dengan Nando.”
“Nando udah gue cut, bos … nggak asyik. Saban hari ngajak minum mulu. Mana gue yang bayar. Sekarang dia bertemen sama Amir. Senang dia dapat temen pengganti lebih tajir. Amir tuh anaknya lurah sebelah dan doyan bener minum-minuman keras. Klop dah!” Puguh mendadak curhat.
Aku ngikik. Ya begitulah. Seperti halnya di dunia politik, seperti itu pula realita di masyarakat. Orang akan mendekat ke orang lain yang sekiranya menguntungkan dan memiliki kepentingan yang sama. Yang tak sejalan, ditendang.
Istriku ternyata nguping obrolanku dengan Puguh. Aku sudah wanti-wanti kepada Puguh, kemungkinan besar dia tidak bisa numpang makan siang di rumah. Aku beri uang untuk makan siang di luar dan menghindari perang Bharatayuddha. Tebakanku tidak salah. Istriku uring-uringan sepanjang hari itu, hanya karena mendengar ketua umum partai besar di negeri ini mengeluarkan surat perintah harian untuk mendukung mantan wali kotaku sebagai calon presiden resmi. Ini artinya, genderang perang sudah ditabuh istriku, sejak dia sangat benci kepada calon presiden itu. Di sisi lain, calon presiden pilihannya sudah mengerucut dengan nama calon pendampingnya, namun belum dideklarasikan.