PULANG KE SOLO, DAN KISAH-KISAH TENTANG POLITIK KEMALANGAN

Ariyanto
Chapter #19

IT IS WHAT IT IS

10 Juli 2014

Sehari setelah hari coblosan Pemilu Presiden tanggal 9 Juli 2014, dunia istriku sepertinya masih gelap. Kemarin selepas coblosan pun sebenarnya dia sudah terlihat sangat kecewa, apalagi banyak lembaga yang mengeluarkan hasil hitung cepat Pilpres yang menyebutkan calon presiden pilihan istriku kalah. Kupikir kemarin, ah ya sudahlah mungkin dia kecewa. Besok semoga adalah hari yang baru dan dia sudah bisa move on. Ternyata besok – yaitu hari ini – masih belum berubah. Dia sangat murung dan seperti enggan melakukan kegiatan apapun.

Ini merepotkanku karena dia ngambek nyaris untuk semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagai istri. Tak ada makanan, meskipun itu hanya nasi putih. Tak terlihat pakaian-pakaian di jemuran, yang ada hanya pakaian kotor di ember yang membumbung dan ada sejak kemarin sore. Pagi tadi pun aku yang memandikan Aal lalu pergi bersama anakku itu keluar untuk mencari sarapan. Siang ini rencananya aku akan menggoreng telur dadar dan chicken nugget yang tadi kubeli di warung, sekadar untuk makan Aal supaya kami tak harus keluar cari makan karena pekerjaanku lumayan banyak.

Cara istriku ngambek ini memang keterlaluan. Dia sebagai orang dewasa harusnya menyadari bahwa dia tidak bisa melakukan apapun atas situasi politik yang telah terjadi. It is what it is. Mau menangis meraung-raung tujuh purnama pun tak akan mengubah keadaan. Yang perlu disadarinya adalah, keadaan rumah tangga kami yang buruk, yang sebenarnya bisa dia ubah kalau dia mau.

“Bapak ….” Aal memandangiku dengan wajah memelas. Dia berdiri di depan pintu garasi yang kugunakan sebagai area workshop. Aku yang sibuk memotong kertas akhirnya menghentikan pekerjaanku dan meminta Puguh melanjutkan.

“Ada apa?” tanyaku dengan nada lembut. Aku tak pernah keras pada anakku, walau semenyebalkan apapun situasinya. Wajah Aal seperti takut. Anakku yang belum genap 5 tahun usianya itu menunduk, sambil menunjuk ke arah celananya. Aku terdiam tak tahu maksudnya. Tetapi kemudian menguar bau tak sedap di ruangan itu. Aku memandang ke arah Aal. Aku tahu apa yang sedang terjadi padanya.

“Kamu eek?” tanyaku.

Dengan agak takut, Aal mengangguk. Lalu hebohlah garasi yang hanya diisi dua orang dewasa dan satu bocah itu. Puguh teriak-teriak dan ngakak sambil menutup hidungnya. Beberapa kali dia meledek anakku yang wajahnya semakin ketakutan.

“Buseeet, Al … makan apa kamu tadi … hahaha,” Puguh beringsut keluar dari ruangan itu sambil menutup hidungnya.

“Aal, jangan bergerak dulu. Diam di situ, sebentar …. “ perintahku. Bocah itu mengangguk lemah dan menuruti kata-kataku. Aku langsung menuju pintu belakang garasi yang terhubung dengan kamar mandi. Lumayan bingung juga harus bagaimana, karena biasanya hal begini adalah urusan istriku. Sekarang dia di dalam kamar entah lagi apa dan tak mau peduli dengan anaknya.

Kuraih plastik sampah hitam ukuran besar. Lalu keluar dan menghampiri Aal. Kulepas celana pendek anakku itu, lalu terlihat celana dalamnya yang menggembol kotoran. Kulepas celana dalamnya dan langsung kumasukkan ke plastik hitam itu.

“Aal … kamu jang … hoeeek … jangan gerak … hoeek … diam dulu ... hoeek,” Aku kesulitan menghalau bau tak sedap. Puguh cekikikan melihatku berbicara sambil terhoek-hoek. Kupelototi pegawaiku itu.

“Ini tolong dibuang. Tapi ditali ya, jangan dibuka kasihan yang nemu,” perintahku sambil menyerahkan plastik hitam itu kepada Puguh.

“Tapi celana dalamnya kan di dalam, bos?”

“Udah, bodo amat, buang!”

Giliran Puguh yang hoek-hoek karena mencium bau kotoran anakku yang memang luar biasa busuk. Aku menghampiri anakku, lalu kubopong dengan posisi pantatnya agak kujauhkan. Kubawa anakku itu ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, kumandikan anakku sekalian, bahkan hingga kukeramasi rambutnya. Nanggung, biar bersih dan harum sekalian.

Lihat selengkapnya