PULANG KE SOLO, DAN KISAH-KISAH TENTANG POLITIK KEMALANGAN

Ariyanto
Chapter #20

DULU SEKUTU, KINI SETERU

Jakarta 20 Oktober 2014

Di hari pelantikan presiden yang menandai resminya calon yang kugadang menang, istriku semakin senewen. Sejak pagi hingga menjelang siang ini dia cuma duduk di teras, pindah ke ruang tamu, jalan ke belakang, lalu balik lagi ke teras, lalu duduk di kursi ruang tamu, sebelum kemudian melamun. Dia seperti resah luar biasa. Aku merasakan, suasana kebatinannya bergejolak, namun seperti tak mampu dia lepaskan dalam bentuk tindakan emosi. Aku sudah berpikir untuk memintanya masuk kamar dan berteriak sekeras-kerasnya. Namun, kuurungkan ide itu karena aku khawatir justru dia menganggapku telah meledeknya. Hingga akhirnya dia menghampiriku yang tengah duduk di sofa ruang tamu.

Kami terdiam lama karena aku sendiri kebingungan harus mulai membuka omongan dari mana. Aku seperti trauma saat semua hal yang kuucapkan akan bermuara pada pertengkaran di antara kami. Dia menunduk mungkin ada sekitar 5 menit, sebelum kemudian dia menatapku.

“Anda kita merencanakan menikah di tahun menjelang Pemilu, dan aku tahu kita tak pernah mendukung calon presiden yang sama. Maka akan kubatalkan rencana pernikahan itu,” gumam istriku.

Aku terkesiap. Tanpa ada kalimat ancang-ancang, basa-basi atau apapun, istriku langsung dengan lugas mengatakan itu. Apakah ini hasil "semedi"-nya di dalam kamar berjam-jam?

“Kita bukan hari ini saja berbeda pendapat. Ini sudah berlangsung dalam satu tahun terakhir. Aku sepertinya sudah tak kuat lagi, Mas,” ujarnya. Lalu air mata meleleh ke kedua pipinya. Aku takjub. Sangat takjub bagaimana hanya karena alasan dukung mendukung calon presiden dia bisa sangat down. Aku toh tak pernah memaksanya mendukung calon presiden pilihanku. Tetapi memang aku tak pernah bisa menyembunyikan siapa yang bakal aku dukung, meskipun tak sedemonstratif itu. Bukannya dia yang justru selalu menanyakan kepadaku siapakah calon yang kudukung beserta alasan-alasannya? yang justru akan memancing kemarahannya sendiri?

“Aku … berpikir untuk cerai, Mas ….”

Aku melongo. Kutatap wajah istriku lekat-lekat. Istriku memang sepertinya sudah gila.

Kami tak berbicara banyak selepas itu. Aku mendadak seperti orang dungu yang tak memiliki kemampuan untuk membantah atau menahan keinginan istriku. Semua berlangsung begitu cepat tanpa ada perlawanan dariku. Aku juga tidak sempat memikirkan bagaimana nasib Aal bila kami bercerai. Lebih dari itu, aku juga tak sempat bertanya kepada diriku sendiri, apakah aku masih mencintainya atau aku sudah kehilangan rasa kepadanya? Semua hal ini membingungkanku, hingga aku tak mau mempedulikan keinginan istriku untuk bercerai itu.

Rupanya dia serius saat mengatakan ingin bercerai. Seminggu kemudian, dia mengajukan gugatan cerai. Beberapa hari sebelum mengajukan gugatan cerai secara resmi di pengadilan agama, dia mengajakkan berdiskusi terlebih dahulu, kira-kira alasan apa yang akan cepat dikabulkan hakim dan memudahkan kami berpisah. Istriku bertanya itu kepadaku dengan sesantai itu. Seperti bukan sebuah persoalan besar yang akan berdampak buruk pada kami, khususnya untuk anakku. Karena itulah aku merasa memang tak ada lagi yang bisa dipertahankan dari rumah tangga ini. Enteng sekali dia membahasnya.

Soal alasan ini, kami sepakat tidak mau menyebut terkait pandangan politik. Bisa saja menggunakan alasan perselisihan terus menerus hingga tak ada titik temu, tetapi jangan menyebut soal pandangan politik. Aku dan istriku merasa malu bila itu kami jadikan alasan, meskipun sebenarnya iya. Aku sudah menyerah mencarikan alasan yang kemungkinan besar diterima hakim pengadilan agama. Kuserahkan keputusan untuk menentukan alasan itu kepada istriku dan aku rela bila kemudian aku dijadikan kambing hitam, selama tidak disebut bahwa aku melakukan kekerasan dalam rumah tangga atau hal kriminal lainnya.

Lihat selengkapnya