Jakarta, 25 Agustus 2024
Kuberikan sepenuhnya hari Mingguku kali ini untuk Aal. Sejak tanggal 23 Agustus dini hari setelah aku jemput di kantor polisi, Aal menginap di rumahku dan tentu sudah atas persetujuan ibunya. Hari Minggu ini dia ingin pulang ke rumah dulu ganti baju, sebelum kemudian akan memberikan kesempatan bagiku untuk bersamanya sepanjang hari.
Mantan istriku dan anakku tinggal di Kelurahan Jatipulo, Kecamatan Palmerah, di sebuah rumah kontrakan yang tak seberapa besar dengan bangunan dua lantai. Aku juga tak ingat bagaimana istriku tiba-tiba bisa mendapatkan rumah ini, sehingga saat pengadilan agama memutuskan kami bercerai, dia seperti tak kebingungan di mana harus tinggal. Awalnya dia mengaku akan tinggal di rumah kerabatnya.
“Aku sudah menyiapkan rumah dan kami akan hidup dengan layak. Mas nggak usah khawatir.”
Aku ingat sekali saat istriku berkata itu. Sepertinya dia sudah mempersiapkan diri dengan matang bila berpisah denganku, termasuk soal finansial. Saat itu, aku hanya mampu memberikan uang Rp30 juta dan berjanji akan menafkahi Aal setiap bulan. Istriku tidak protes dan menerima uang itu. Aku berpikir, mungkin kerabatnya sudah menguruskan semuanya, mengingat memang dia punya kerabat di Kelurahan Jatipulo. Akhirnya, tak terlalu memikirkan hal itu dan cukup percaya istriku akan mampu merawat anakku dengan baik.
Tak sampai satu tahun kami berpisah, usaha katering istriku berkembang cukup bagus. Pelanggannya lumayan banyak, yang sebagian besar adalah karyawan perkantoran. Istriku juga memiliki pegawai yang khusus mengirimkan makanan, sementara urusan dapur banyak dibantu tetangga sekitar.
Aku mengantar Aal dengan mengendarai Grandmax, karena di luar sangat panas bila naik motor. Kami tiba di rumah mantan istriku sekitar pukul 09.30 WIB. Kondisi rumah tidak ramai orang seperti hari biasa, karena memang hari Minggu katering libur. Hanya ada dua orang ibu-ibu yang tampak mengupas bawang merah dan bawang putih sambil mendengarkan radio yang memutar lagu dangdut. Aku tadi sudah menghubungi mantan istriku kalau aku akan datang dengan Aal dan dia bilang sedang berada di luar belanja bahan makanan.
“Kata ibu lu, kalau mau makan langsung ajak bapak lu ke dalam, sudah ada makanan,” kata salah seorang ibu-ibu yang bertemu kami. Aal hanya mengangguk.
Aku menunggu di luar. Hari ini Aal minta aku menraktirnya makan di rumah makan Mbah Jingkrak, di Setiabudi, Jakarta Selatan. Aku mengiyakan. Aku pikir, kalau hari ini dia meminta makan di restoran termahal pun akan aku kabulkan. Kami jarang memiliki waktu-waktu terbaik bersama dan kadang aku merasa sedih karena aku seperti tak mengenal anakku Aal dengan baik. Aku tak tahu apa makanan favoritnya. Aku tak tahu genre film apa yang jadi kesukaannya. Aku tak tahu apakah dia suka menyanyi atau tidak. Aku tak tahu apakah dia sedang tertarik dengan seorang gadis atau bahkan sudah punya pacar? Aku tak tahu karena aku jarang bersama dia di saat dia tumbuh besar. Aku hanya hapal kalau dia suka komik Tintin, itu saja.
Sekitar 15 menitan aku berada di teras. Hingga sebuah mobil sedan merah tampak berhenti di depan rumah. Seorang wanita paruh baya dengan rambut hitam bersemu pirang di beberapa bagian tampak keluar dari mobil. Wanita yang mengenakan kaos warna putih dan celana pendek ungu itu mengempit dompet jinjing, lalu berjalan ke arah pintu pagar pendek, tapi tak masuk ke halaman rumah.
“Bu Larmi ada?” tanya wanita berkulit putih pucat itu.
“Oh, saya juga tamu di sini. Tapi katanya baru keluar.”
“Baru keluar, Cik!” sahut ibu-ibu yang mengupas bawang.
“Eh, Mpok Ndun … keluar kemana? Kok saban aku ke sini keluar terus?” tanya wanita itu tanpa terlihat ingin membuka pagar. Karena posisi pagar memang pendek, hanya sebatas pinggang orang dewasa, maka perbincangan itu pun tetap terjadi tanpa dia harus masuk ke halaman rumah.
“Nggak tau, Cik!”
“Bilang ya kalau aku nyari. Gimana sih, dicari nggak pernah ada,” gerutu wanita itu sambil berlalu dan menuju sedannya tanpa ada niat untuk sekadar pamit padaku. Kelihatannya dia jengkel sekali karena tak berhasil bertemu dengan mantan istriku.
Aal tampak keluar dan menatap ke arah mobil sedan merah. Tak lama mobil itu berjalan dan hilang dalam hitungan detik. Aal memandangku. Sekarang dia sudah berganti baju, mengenakan jeans hitam dan kemeja flannel kotak-kotak biru putih. Rambutnya disisir rapi dan wajahnya tampak lebih cerah seperti habis cuci muka. Baunya harum.
“Ada yang cari ibumu tadi itu,” kataku.
“Iya, dia sering ke sini. Kalau ada Ibu, pasti ribut. Dulu mereka akrab sekali, tetapi sejak 5 bulan terakhir tidak akur,” jawab Aal sekenanya.
“Berangkat sekarang?”
Aal mengangguk. Kami berpamitan dengan dua orang ibu-ibu yang masih sibuk mengupas bawang, lalu berjalan ke luar menuju ke mobilku. Hari Minggu ini adalah hari Minggu istimewa buatku. Setahun lebih aku tidak merasakan ini, memiliki kebersamaan dengan anakku satu-satunya. Seperti anak pada umumnya, setelah mereka menginjak remaja, mereka tidak akan nyaman jalan bersama orangtuanya. Aku melihat itu juga pada diri Aal. Hingga sekitar umur 13 tahunan kami masih sering bersama. Tetapi setelah itu, dia seperti menjaga jarak padaku meskipun saat aku datang menjenguknya dia tetap menemuiku dengan baik. Cuma, kalau diajak jalan, ampun susahnya.
Aku mengendarai mobilku dengan pelan dan sibuk mencari kalimat yang tepat untuk memecahkan keheningan. Kulirik Aal, tampak membuang wajahnya ke kiri.