Jakarta, 31 Agustus 2024
Aal tidur di rumahku hampir seminggu, sejak dia kujemput dari kantor polisi. Kupikir, mantan istriku memang memberi izin dan mengikhlaskan Aal tidur di rumahku karena dia memberikan semacam penghargaan atas peranku dalam mengurus persoalan Aal di kantor polisi. Tetapi kemudian pikiranku berubah setelah mendengar cerita Aal. Mantan istriku ternyata sedang pusing menghadapi persoalannya sendiri.
Aal menunjukkan rasa kasihannya kepada sang ibu yang kerap dimaki-maki oleh Cik Mela, juga beberapa supplier penyedia bahan pokok makanan untuk usaha kateringnya. Ini karena pembayaran yang dilakukan ibunya sering terlambat, berbeda dengan dulu. Tetapi menghentikan usaha itu untuk sementara juga tidak mungkin karena mereka harus terus hidup. Usaha katering yang sudah berlangsung beberapa tahun itu adalah usaha yang menjadi hajat hidup mantan istriku, dan tentu untuk anakku juga, serta banyak orang yang menjadi pegawai istriku, meskipun statusnya hanya tenaga bantu.
“Apakah Bapak bisa membantu Ibu?” tanya Aal waktu itu.
Aku bisa saja membantu mantan istriku. Tetapi persoalannya kan tidak semudah itu, apalagi aku juga bukan lagi suaminya. Selain itu, hingga kini tak pernah mantan istriku bercerita tentang kesulitannya. Aku hanya mengetahuinya dari mulut anakku.
Saat kuceritakan ini kepada Mas Marwono, seperti biasa Mas Marwono selalu mengambil posisi sebagai pihak “oposisi” yang mencoba mengemukakan setiap kemungkinan buruk bila aku membantu istriku. Dia tidak melarang, tetapi memintaku untuk benar-benar memikirkan setiap konsekuensi yang harus aku pikul. Dia yang akan mengetes seberapa besar niatku dan itu akan diulang berkali-kali sampai dia yakin akan keputusan adiknya.
“Pertama, kamu mau tidak memiliki tanggung jawab itu? Kamu tidak salah bila tidak membantunya, lho. Kalau soal Aal, kamu bisa minta hak pengasuhannya di kamu. Di sepakati saja berdua demi kepentingan anakmu,” kata Mas Marwono.
Aku terdiam.
“Kedua, uang Rp90 juta untuk membantunya menyelesaikan persoalan bisnis yang menjeratnya adalah uang besar. Kamu harus siap merelakan uang itu hilang kalau kamu menyerahkan uang Rp90 juta itu, karena aku melihat kemungkinan mantan istrimu sulit mengembalikannya. Kalau tidak hilang, akan lama sekali waktu untuk membayar, itu pun diangsur.”
Apa yang diomongkan Mas Marwono benar adanya.
“Ketiga, menurutku, kamu mengatakan ini karena kamu tidak mampu membantu secara penuh Rp90 juta itu dan meminta pertimbanganku untuk urun dana ….”
Aku terdongak. Lumayan kaget ditembak seperti itu.
“Tapi tak apa. Tak apa kamu membantu mantan istrimu. Tetapi aku juga kasihan kepadamu kalau kamu tidak mendapatkan apa-apa dari ini. Kamu ingin menyambung lagi hubunganmu dengan mantan istrimu?”
Aku diam lama, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Mas Marwono. “Sebenarnya … kalau ditanya apakah aku ingin kembali dengan mantan istriku, itu sudah bukan tujuan utamaku. Aku masih cinta kepadanya iya, tetapi memang bukan yang pengen banget karena ini bahkan sudah berlangsung lama. Kalau pun itu terjadi, misalnya aku menikah dengan mantan istriku lagi, itu karena permintaan Aal,” kataku.
Mas Marwono tersenyum. Sebelum dia meninggalkanku dari obrolan itu karena ada perlu yang harus dia lakukan, Mas Marwono bilang, “Aku akan membantumu dengan memberimu uang Rp90 juta untuk menyelesaikan persoalan mantan istrimu. Tetapi dengan syarat dia menikah lagi denganmu, sehingga utang itu menjadi tanggung jawabmu juga. Kalau dia mau menikah denganmu, ada syarat tambahan, dia harus menurut kepadamu sebagai istri kepada suaminya, serta menjauhkan keluarga besarnya dari ikut campur di rumah tanggamu.”
Apa yang diucapkan Mas Marwono selalu kuanggap sebagai upaya untuk melindungiku dan mendukungku untuk mendapatkan kebahagiaan. Aku tahu, meskipun dia bilang bahwa aku yang harus bertanggung jawab bila dia membantu Rp90 juta itu, Mas Marwono tidak akan benar-benar menganggap itu utang. Sudah terlalu banyak aku dibantu Mas Marwono dalam persoalan keuangan.
Semua pembicaraanku dengan Mas Marwono kuceritakan kepada Aal, berharap dia memahami benar situasiku dan ibunya. Anakku yang menginjak remaja itu kaget karena ternyata persoalannya tidak semudah itu. Aku mengajaknya untuk melihat dan mempertimbangkan dari berbagai aspek tentang apa yang mungkin terjadi bila aku kembali menikah dengan ibunya.
“Tapi aku akan mempertimbangkannya baik-baik bila memang kamu benar-benar ingin aku dan ibumu kembali menikah,” kataku kepada Aal.