JAKARTA, 20 OKTOBER 2024
Satu bulan dua puluh hari kami bertiga berkutat pada rencana dan aksi untuk menyelesaikan semua persoalan yang kami hadapi. Aku, anakku, serta mantan istriku. Aku tidak menyebut ini hanya menjadi persoalan mantan istriku, karena ketika mantan istriku memiliki masalah maka masalah itu akan berimbas juga kepada anakku Aal, yang berarti juga menjadi tanggung jawabku.
Setelah semua hal kusampaikan kepada Aal, tentang konsekuensi, tentang banyak aspek, untuk menuju satu solusi terbaik bagi kami, anak itu cukup mengerti. Hal sama kusampaikan pada mantan istriku. Aku benar-benar meminta mantan istriku membuka hati dan pikiran seluas-luasnya untuk memahami banyak kondisi yang mungkin tidak seperti yang diharapkannya. Seperti misalnya, aku mengatakan kepadanya bahwa aku sanggup menyelesaikan persoalan terkait persoalan bisnisnya dengan Cik Mela. Mas Marwono akan membantu urun Rp50 juta, sementara sisanya Rp40 juta dari kocek pribadiku.
“Mas Marwono mendukung kita kembali menikah. Tetapi dengan syarat … keluarga besarmu, lebih tepatnya Pakdemu tak mencampuri rumah tangga kita lagi. Kamu juga harus nurut kepadaku sebagai suamimu. Mas Marwono ingin kamu tidak teracuni persoalan politik dari keluarga besarmu atau pun dari pihak-pihak lain,” kataku.
Kulihat raut wajah mantan istriku berubah, kaget dan seperti tidak terlalu berkenan dengan apa yang baru saja aku katakan. Aku tahu benar, dia akan kesulitan melepaskan diri dari Pakdenya yang sepertinya sangat dominan di keluarga besarnya. Aku tahu benar bahwa Pakdenya itu sangat berjasa bagi dirinya dan ibunya. Di sisi lain, dia tahu benar, Pakdenya pasti akan ikut campur lagi bila dia mau menikah denganku. Aku tidak mengatakan ke mantan istriku bahwa aku juga tahu Pakdenya berperan dalam pemecatanku dari koran dulu dan berperan dalam mendorong mantan istriku menggugat cerai aku.
“Aku tahu ini tak mudah. Karena itu aku ingin kamu mempertimbangkan benar. Aku sendiri sebenarnya tidak suka kalau Pakdemu intervensi terlalu dalam di kehidupan rumah tangga kita dulu … atau nanti kelak bila memang kita ditakdirkan kembali jadi suami istri,” tegasku.
“Aku pikirkan dulu, Mas. Kadang-kadang, aku juga tidak mau itu. Tetapi aku tidak kuasa untuk melawan,” ujar mantan istriku kelu.
Itu pertemuan pertama dengan mantan istriku yang belum mengerucut kepada keputusan apapun. Kami berdua masih mempertimbangkan banyak hal. Aal seperti kecewa dengan perkembangan awal komunikasi kami dan sebagai remaja dia terlalu emosional untuk menanggapinya dan berpikir sudah tak ada jalan lain untuk membantu ibunya menghadapi persoalan bisnisnya, juga tak ada jalan untuk menyatukan kami.
Dalam proses ini, pikiranku juga maju mundur. Aku berulang menyampaikan perkembangan persoalan ini kepada Mas Marwono, yang pada fase ini adalah orang yang paling aku anggap penting dan paling bisa menyelesaikan persoalanku. Aku tahu, aku selalu merepotkannya. Tetapi aku juga tahu Mas Marwono tak mau aku tinggalkan saat aku menghadapi kesulitan. Dia selalu ingin menjadi orang pertama bila aku menghadapi persoalan dan aku bersyukur memiliki kakak seperti dia. Dia sesayang itu kepada aku, adik satu-satunya.
“Apakah ada opsi lain?” tanya Mas Marwono suatu saat.
Ada satu opsi yang sebenarnya sudah nyantol di kepalaku. Tetapi aku tak tahu apakah Mas Marwono sebagai “penyandang dana” bersedia menerima dan Aal sebagai anak siap juga menerimanya.