Tangan keriput dan lemah nenek melepaskan ganjalan cincin kebesaran di jari manisnya. Ia meraih tangan Rita yang mencengkeram sandaran kursi dengan erat. Telapak tangan Rita berkeringat menyentuh tangan kasar si nenek. Cincin dengan batu kristal bening seukuran biji jagung dimasukan ke jari manis Rita.
“Apa ini, Nek?” Tanya Rita setengah berteriak.
“Cantik bukan? Sama sepertimu. Saya memilihmu bukan karena kau cantik, Nak. Saya melihat kebaikan dari sorot matamu. Dan kau adalah...” Si nenek tak meneruskan kalimatnya. “Kau akan menemukan jawabannya sendiri nanti.”
Nanti, pikir Rita pahit. Tak ada nanti untuknya. Bahkah jika diberi segunung berlian pun ia lebih memilih kehidupannya. Rita tak habis pikir. Bagaimana bisa nenek itu masih bisa tersenyum dengan tenang saat mereka akan mati di tempat ini?
Semua penumpang panik termasuk dirinya. Pesawat tak berhenti bergoyang. Seperti sedang mengendarai kereta api. Orang-orang mulai berteriak. Beberapa penumpang menangis. Kondisi pesawat hampir seperti kendaraan di medan perang.
Suara petir menggelegar memekakkan telinga mirip sebuah bom. Pada bagian ekor pesawat terdengar retakan keras. Beberapa penumpang panik berhamburan ke kabin depan. Pramugara tadi berusaha menertibkan para penumpang tanpa beranjak dari bangkunya. Tak ada satupun pramugara atau pramugari yang meninggalkan tempat duduk mereka.
Rita mengintip dari sela kursi saat penumpang di belakangnya berteriak histeris. Yang kemudian disusul kembali teriakan-teriakan lainnya. Ia melihat bagian belakang kursi penumpang terbakar. Membuat sebuah lubang yang kian membesar. Potongan-potongan alumunium dari badan pesawat berhamburan keluar dari lubang. Hanya berjarak lima kursi dari tempat duduknya. Ia tanpa sadar menggenggam erat tangan si nenek yang memejamkan mata dengan tenang bersandar di tempat duduk. Sama seperti kedua pengawalnya yang duduk tanpa ekspresi.
Kilatan petir menjilati pinggiran lubang membuat api semakin bertambah besar. Angin kencang menyeret kursi-kursi kosong yang sudah ditinggalkan penumpangnya. Orang-orang yang berlari ke depan tadi mencengkeram kursi penumpang lain dengan erat sambil berteriak-teriak.
Salah satu pegangan penumpang itu terlepas lalu terseret keluar lubang. Badannya terbakar. Terbang melayang menembus kepulan asap hitam. Penumpang yang sedang berusaha kabur ke kabin depan terlontar keluar. Rita mengurungkan niatnya pindah ke area depan. Meski dua baris kursi di belakang tempat duduknya telah lenyap.
Ia hanya bisa menangis menunggu kematian. Sudah pasti dirinya ikut terlontar ke belakang jika ia melepas sabuk pengaman atau mencoba berdiri. Tempat duduknya pun seperti tersedot ke belakang. Namun ia juga tak akan selamat jika memutuskan untuk tetap duduk manis di bangkunya.