Sungguh Ric ingin menghajar orang yang telah berani menendang kakinya. Tetapi rasa kantuk, membuatnya tidak berdaya. Ric hanya memicingkan mata dan mendapati seorang perempuan mengenakan mukena terjerembab di atas ujung kakinya.
“Maaf,” katanya cepat segera berdiri dan menghilang dari hadapan Ric.
Baguslah, kamu bebas sekarang. Kalau Ric dalam posisi sadar benar, dia pasti sudah memaki orang itu. Tidak peduli laki-laki atau perempuan. Umpatan kasar; “Anjing! Ke mana matamu!” Pasti akan menampar orang itu.
Ric kembali memejamkan mata. Sekilas Ric menduga perempuan tadi tersandung kakinya yang menjulur keluar dari penampang lintang anak tangga.
Tepatnya di cerukan anak tangga yang melingkar-lingkar ke atas. Hanya tempat itu yang Ric rasa hangat, mengingat arsitektur masjid terbuka dengan pilar-pilar besar. Dua buah tangga melingkar berada pada sisi sebelah kanan-kiri bagian depan.
Baru saja Ric hampir terlelap. Seseorang telah menepuk bahunya.
“Mas bangun. Sudah Subuh.” Suara itu terdengar halus penuh wibawa.
Ric bergeming. Dia justru seolah tengah dinyanyikan lagu nina bobo.
“Mas!” Orang itu menggoyang tubuh Ric lebih kencang. “Ini bukan tempat untuk tidur, ini rumah ibadah.”
Merasa terganggu Ric menyingkirkan tangan yang menutupi mata. Seorang pria berumur setengah abad berpeci putih menyungging senyum.
“Bangun, ambil air wudu kita salat Subuh berjamaah,” kata Bapak itu.
“Saya tidak salat,” erang Ric kesal. “Pergilah!” Tangan Ric mengibas ke arah orang tua yang mengganggunya tersebut.
Terdengar desahan berat. Ric bersyukur orang itu segera enyah dari buaian rasa kantuk. Mari kita tidur kembali. Dan lupakan prahara kehidupan yang sedang melanda.
Tidur, tidur, tidur. Pikir Ric menghipnotis diri sendiri.
Namun sekali lagi, saat Ric mulai tenggelam dalam alam bawah sadar, satu gangguan lagi telah membakar telinganya. Suara azan membuat Ric terduduk dengan menunjukkan bahasa tubuh kesal, dengan kelopak mata yang masih saling berdempetan seolah ada lem di sana.
Ric mengubah posisi tubuhnya. Kini dia telah menyandarkan kepala pada anak tangga bagian dalam. Segaris lurus dengan anak tangga, tidak lagi melintang. Badannya masih terlalu berat untuk beranjak.
Selintas kemudian pikirannya perlahan terbuka. Mengingat kemarin, di mana dirinya bisa tidur dengan damai. Tanpa gangguan apa pun. Meski kondisi tempatnya kotor dan bau.
Lalu hari ini, manakala dia terdampar di suatu tempat nun jauh. Pada tempat yang bersih. Justru aneka sandungan menghampiri.