PUNKER

Xie Nur
Chapter #2

Perempuan Satu Seperempat Meter

“Sebaiknya bersihkan badan dulu,” kata Si Bapak Tua seraya mengulurkan tas kain warna hitam. “Silakan, di sebelah sana!” tunjuknya pada arah berlawanan dari Ric Berdiri.

Bapak itu berjalan mendekat masih dengan mengacungkan tas kain dari bahan spunbond yang memiliki tekstur kasar. Mau tak mau Ric menerima meski ragu-ragu. Tas kain telah berpindah tangan. Ric spontan memeriksa isi bungkusan tersebut. Tampak seperangkat pakaian berhimpitan dengan handuk kecil, sikat gigi dan sabun.

“Terima kasih,” ucap Ric pelan, masih ragu-ragu apakah akan menerima tawaran tersebut.

“Saya Pak Abu.” Bapak itu memperkenalkan diri menanti jabat tangan dari Ric.

“Ric,” sahut Ric berusaha membalas senyum Pak Abu.

“Mari saya antar.”

Ric mengikuti Pak Abu menuju tempat yang tadi ditunjukkan untuknya. Mereka mengambil jalan melintas masjid sebelah kanan, melewati pintu masuk masjid terbuka. Tiba pada anak tangga di ujung utara, setelah melepas alas kaki keduanya melangkah ke kanan kira-kira enam tapak, kemudian menuruni lima anak tangga sampailah Ric di area wudu yang berderet kran air pada samping kanan-kiri. Pak Abu hanya mengantar hingga pintu masuk yang setengah terbuka membentuk lorong menjorok ke dalam. Ujung ruang wudu terdapat sekat-sekat kamar mandi. Ada empat buah pintu yang berhasil Ric hitung sekilas. Dia lalu memilih salah satu kamar mandi.

Rasanya segar sekali ketika air telah membasahi sekujur tubuh yang lama tak tersentuh oleh zat multifungsi itu, secara keseluruhan. Entah kapan, Ric lupa terakhir kali mandi. Mungkin tiga hari, mungkin malah satu minggu yang lalu atau malah satu bulan.

Baju koko warna krem dan celana hitam lebar tak sampai menyentuh mata kaki membungkus tubuh Ric. Baju yang tadi dipakai berganti masuk tas kain. Begitu menyentuh kembali lantai masjid Ric celingukan mencari sosok Pak Abu. Sebuah teriakan menjadi petunjuk ke mana kaki Ric akan memijak selanjutnya. Ric melewati samping anak tangga menuju tempat wudu wanita yang tertutup penuh dan tersekat sketsel kayu. Sementara di antara dua bangunan tempat wudu berdiri kawat besi yang penuh tanaman merambat. 

Pak Abu berdiri pada sebuah teras bangunan dua lantai di sebelah kanan ujung masjid. Bangunan yang seolah terpisah tetapi menyatu dengan masjid pada bagian atas membentuk semacam jembatan melingkar mengatapi tempat wudu wanita dan laki-laki. Sebelum menuruni tangga kecil Ric menyempatkan melihat ke arah kanan melintas bawah jembatan yang menaungi kolam ikan. Ada sebuah bangunan lagi, bangunan itu tertutup tembok berloster.

Senyum Pak Abu masih saja mengembang, menyejukkan hati sanubari Ric. Dia segera menyuruh Ric duduk di sofa yang warnanya telah memudar. Tidak merah menyala lagi, tetapi bersemu merah jambu.

“Minum dulu,” katanya lagi. “Makan juga martabaknya.”

Teh hangat menyirami kerongkongan Ric yang kering. Sekejap ada aliran hangat menelusup saluran cerna. Tanpa ragu-ragu Ric mengambil martabak telur yang masih terasa hangat. Rasa lapar membuatnya tak segan menerima uluran kebaikan orang.

“Enak sekali,” ucap Ric setelah habis satu.

“Silakan tambah lagi,” balas Pak Abu ikut mengambil martabak. “Selagi menunggu sarapan sebenarnya matang, kita habiskan martabak ini.”

“Sudah kenyang duluan dong, Pak.” 

“Kita sarapan saat tea time saja. Sekitar jam sepuluhan. Tapi kalau nanti sudah matang, kita langsung makan. Menghormati yang masak.”

“Bapak tinggal di sini?” tanya Ric.

“Iya, tapi bagian atas sudah bukan lagi hak saya.” Pak Abu menatap Ric yang penasaran dengan kelanjutan ceritanya. “Areal tanah ini dulu milik orangtua saya.”

“Luas sekali,”

Lihat selengkapnya