PUNKER

Xie Nur
Chapter #4

Perkenalan Yang Tidak Menyenangkan

Pak Abu menatap Ric dan Sena yang wajahnya mirip buntalan karung lusuh. Air muka Pak Abu hampir tidak bisa terdeskripsikan. Kadang berkerut-kerut, kemudian mulutnya telah membuka mengeluarkan desahan kecewa, lalu memandang keduanya dengan iba, selanjutnya sudah tampak mencengkeram dua anak yang berhasil diringkus dan dibawa ke hadapannya. Tetapi pelototan itu dengan cepat berganti tawa geli.

“Lihat muka kalian!” telunjuk Pak Abu menunjuk pada Ric dan Sena. Pak Abu menggelengkan kepala. “Benar-benar hancur. Sakit tidak?” tanyanya lalu mengulas desahan lagi.

“Sakit, Pak,” sahut Sena dalam suara yang merintih. Dia menderita luka pada pelipis kiri yang berurai darah. Dagu kiri yang terlihat lebam, serta pipi kanan tampak menggembung seperti orang sedang sakit gigi.

Ric melirik Sena dengan senyum mencemooh. Dalam hatinya berujar; dasar laki-laki lemah!

Pak Abu memperhatikan Ric dengan intens. Saat mata Ric telah beralih ke Pak Abu, dia segera menundukkan kepala, tidak berani menatap sinar mata dari Pak Abu yang teduh namun, memancarkan sesuatu yang membuat Ric tidak sanggup menatapnya lama.

“Apa kamu tidak merasa sakit, Ric?” tanya Pak Abu yang penasaran pada anak yang mukanya lebih bonyok tetapi tetap bisa mengutas senyum, tidak meringis-ringis kesakitan seperti Sena.

“Harga diri saya yang tadi justru terluka, Pak,” ucap Ric dengan raut muka menegang. Hidung Ric menggaris darah yang hampir mengering, matanya seperti memakai eyeshadow warna gelap, dan pipi kirinya juga menggembung kemerahan. “Dia menuduh saya maling!” telunjuk Ric mencolok ke arah Sena hampir mengenai wajah anak laki-laki yang umurnya sebaya dengannya.

Sena menghalau jari tangan Ric. “Dia terlihat mencurigakan, menempelkan telinga di pintu. Tangannya memegang handle pintu seperti ingin menerobos masuk,” terang Sena.

“Saya sedang mendengarkan suara dia yang mengaji,” Ric menunjuk pada Ayom yang masih berdiri di antara mereka di pelataran masjid sebelah kediaman Pak Abu. Sementara yang lain telah menuju masjid untuk bersiap melaksanakan salat Magrib.

Pak Abu memandang pada Ayom, pada saat bersamaan azan berkumandang merdu seolah menghentikan ketegangan yang tengah terjadi.

“Ayo semua ambil air wudu. Kita bahas masalah ini setelah salat Magrib,” Pak Abu menggiring Ric dan Sena ke tempat wudu putra. Bahkan saat keduanya mengambil pancuran yang berjauh-jauhan oleh Pak Abu mereka didekatkan. Pak Abu juga mengatur agar Ayom mengambil air wudu di sebelah Sena agar posisi mereka berempat menjadi Ayom, Sena, Ric dan Pak Abu.

Ayom sempat mengulas senyum geli manakala Ric dan Sena masih tampak saling melotot. Dalam pikiran Ayom terbersit, masih untung mereka berdua tidak diikat bersama.

Rintih kesakitan terdengar dari mulut Sena. Dia tampak hati-hati membasuh mukanya yang semakin terasa terajam akibat mendapat pukulan dari Ric. Sangat berbeda dengan Ric, dia masih bisa menyiramkan air ke wajah dengan gerakan cepat dan terkesan kasar. Ayom yang sempat memperhatikan sedikit kagum dengan daya tahan sakit dari orang yang tadi menempel di pintunya.

Takbiratul ihram menggema. Pak Abu mempersilakan seorang bapak yang usianya tampak lebih tua dari Pak Abu memimpin salat. Biasanya memang antara Pak Abu dan Pak Toha yang menjadi imam. Kali ini Pak Abu sedang dalam misi mendamaikan dua anak yang tengah berseteru. Makanya dia memilih menjadi makmum, dan lagi-lagi menempatkan Ric dan Sena berjejeran dan diapit oleh dirinya dan Ayom.

Salat Magrib selesai. Pak Abu mengumpulkan penghuni asrama putra agar berkumpul. Ada lima belas pemuda yang kemudian duduk takzim berderet-deret menghadap Pak Abu.

“Ric, kemarilah!” panggil Pak Abu melambaikan tangan agar Ric maju ke depan.

Lihat selengkapnya