Ayom membangunkan Ric yang masih tidur dengan posisi setengah melingkar di ranjang. Tidak ada tanggapan yang berarti. Ayom menepuk kaki Ric yang menjulur ke arahnya. Pergerakan terjadi, akan tetapi tangan Ric hanya menarik bantal mengubah posisinya untuk menutupi telinga.
Azan Subuh yang terdeteksi oleh Ayom dikumandangkan oleh Mufaiz terdengar sangat merdu dan memiliki cengkok yang berbeda dari azan yang biasa terlantun. Suara azan itu memiliki alunan yang bergelombang. Tidak melengking-lengking di akhir seruan. Sungguh sangat indah terdengar. Dan bagaimana bisa orang ini malah menutupi telinganya saat mendengar azan itu.
“Ric, ayo kita salat Subuh.” Ayom masih belum menyerah mengajak Ric melakukan satu hal yang wajib bagi umat Islam.
Tidak ada tanggapan. Ayom akhirnya menyerah. Baginya tiga kali ajakan sudah cukup membuatnya tidak merasa bersalah karena tidak berusaha mengajak seseorang melakukan satu kebaikan.
Hingga Ayom kembali dari masjid, Ric masih meringkuk dalam posisi yang sama. Bahkan ketika Ayom akan berangkat kuliah, tubuh Ric sama sekali tidak ada pergerakan. Tetiba Ayom menjadi khawatir. Apakah teman satu kamarnya itu pingsan?
“Ric!” Ayom memanggil sekali lagi. “Sudah siang, kamu tidak salat Subuh?”
Ric bergeming. Ayom lalu mengambil tas rangselnya dan menyambar ponsel yang tergeletak di meja. Jam waktu itu telah menunjukkan pukul tujuh kurang dua puluh menit. Kampus Ayom lumayan dekat dari tempat kosnya ini. Tinggal jalan kaki kurang lebih sepuluh menit sampailah dia di kampus tempatnya mengolah otak.
Ponsel Ayom tiba-tiba berbunyi nyaring. Ayom lupa mematikan dering ponsel menjadi bisu untuk persiapan mendapat pelajaran di kelas nanti.
Saat bersamaan tubuh Ric langsung terduduk. Tampaknya dia terbangun oleh suara dering ponsel Ayom yang melengking mirip suara sirine pemadam kebakaran.
“Ada apa?” Ric langsung bertanya pada Ayom yang sedang menerima telepon dari seseorang.
“Baik, Pak. Saya segera berangkat sekarang,” sahut Ayom mengabaikan pertanyaan dari Ric.
“Aku berangkat kuliah dulu. Tadi dosen menelepon minta tolong padaku menyampaikan tugas untuk teman-teman sebelum beliau datang,” ucap Ayom yang bagi Ric terdengar tidak penting.
“Jam berapa sekarang?”
“Setengah tujuh lebih sepuluh,” sahut Ayom seraya membuka pintu kamar.
Ric terkejut dengan pemberitahuan Ayom, dia langsung meloncat dari tempat tidur. “Kenapa kamu tidak membangunkan aku? Aow!” Ric mengerang memegangi rahangnya yang baru terasa nyeri sekarang. Gerakan meloncat tiba-tiba ikut menggetarkan luka memarnya.
“Ternyata merasa sakit juga,” balas Ayom nyengir di ambang pintu. “Jangan salahkan aku. Sudah beberapa kali aku membangunkanmu, tapi kamu malah menutupi telingamu. Aku berangkat,” kata Ayom sebelum menutup pintu dan menghilang dari hadapan Ric.
Tanpa berganti baju, Ric segera menyusul Ayom yang telah keluar duluan. Di depan pintu dia bertemu dengan Riyan yang dengan segera melengos melangkah seolah tidak melihat Ric yang berada di depan mata.
Ric mengangkat bahu. Dia tidak mau peduli sama tingkah laku Riyan yang seolah menghindarinya. Bagi Ric yang terpenting tidak ada yang mengusiknya seperti Sena. Ibarat kata senggol bacok, itulah yang menjadi pedoman pergaulan Ric.
Pak Abu tampak sedang merapikan tanaman di depan halaman rumahnya. Ric berharap tidak mengganggu kegiatan Pak Abu pagi ini. Ada sesuatu yang ingin dia katakan pada pria tua itu.