Selepas Zuhur, Ric berkeliaran di luar area masjid. Setelah sebelumnya duduk lama di teras minimarket di belakang masjid. Di situ Ric mondar-mandir melihat ke area dalam minimarket. Sampai petugas laki-laki yang baru datang mengusirnya.
Ric hanya menyeringai mendapat perlakukan seperti dirinya seorang pengemis. Sudah biasa bagi Ric. Dia pun berjalan ke arah kanan masjid yang telah berderet perumahan warga setempat yang sudah pasti berisikan mahasiswa yang indekos atau mengontrak.
Mata Ric terlihat jelalatan memandangi satu persatu rumah yang terlalui oleh langkah kakinya. Sesekali matanya melihat ke jalan beraspal yang terkadang nyempil sampah terbiar. Kali ini Ric sungguh berharap dapat menemukan satu atau dua puntung rokok yang malang.
Sejak terdampar di masjid Fatima, Ric telah kehabisan uang. Terpaksa pula dia menahan lapar dan hasrat ingin merokok. Beruntung pemilik area masjid berbaik hati memberinya makan dan tempat tinggal yang layak. Tetapi kebutuhan paru-parunya akan asap makin menjadi. Ric tidak mau meminta atau meminjam uang pada Pak Abu dengan alasan ingin membeli rokok. Orangtua itu sudah banyak berbaik hati untuknya. Masa iya, dia akan meminta sesuatu yang di luar kebutuhan pokoknya.
Demi memenuhi candu akan rokok itu, terpaksa Ric mencari jalan lain yang menurutnya tidak merugikan siapa pun. Apalagi kalau bukan memulung puntung rokok. Satu hal yang sebelumnya pernah dia lakukan bersama teman-teman punker bila kehabisan uang. Bagaimanapun prinsip kelompoknya pantang untuk meminta secara cuma-cuma apalagi dengan cara paksa. Kami memilih mengorek tong sampah daripada dicap sebagai pemalak. Kami itu punker, bukan preman. Jadi jangan disamakan.
Ric menatapi satu rumah kos yang besar. Dia melongok ke dalam pintu gerbang. Memindai siapa penghuni kos-kosan itu. Laki-lakikah atau tempat kos perempuan?
Seorang perempuan dengan rambut dikuncir tinggi, berkulit putih terlihat keluar dari kamar model paviliun. Begitu melihat Ric, perempuan dengan paras cantik itu beringsut cepat masuk ke kamar.
Ric tersenyum kecut. Bukan hal baru memang. Tetapi terkadang itu cukup menggelitiki hatinya. Orang-orang entah kenapa selalu memandang kepribadian seseorang dari penampilan.
Merasa tidak yakin di lingkungan kos itu ada puntung rokok, meski mungkin ada, Ric memilih mencari di tempat lain. Dia tidak mau membuat kericuhan melalui kehadirannya di area kos perempuan.
Beberapa langkah kemudian Ric menemukan satu rumah besar dengan sandal yang banyak di depan. Melihat dari keadaan luar rumah yang berantakan bahkan tong sampah sampai meluap, Ric bisa menduga kalau rumah besar ini pastilah tempat kos mahasiswa putra.
Ric lalu masuk sambil matanya terus tertuju pada tong sampah yang mojok di sisi pintu gerbang sebelah kanan. Belum lagi Ric mencapai tong sampah, seorang datang menghampirinya.
“Cari siapa Mas?” tanya pria dengan rambut di cat pirang pada ujung-ujung rambutnya.
“Enggak ada,” sahut Ric sambil memungut satu puntung rokok yang tinggal setengah. Tak lupa dia mengacungkan puntung rokok itu pada pria yang terus mengawasinya dengan waspada.
Kali ini dia tidak ingin ribut dengan orang. Wajahnya masih lumayan menyisakan lebam. Dia tidak mau mukanya tampak lebih menakutkan.
Ric terus melangkah hingga tiba di jalan utama. Tepat di pertigaan pada sudut sebelah kanan, mata awas Ric menangkap satu puntung rokok yang tergolek begitu saja. Setelah memastikan tidak ada kendaraan yang melaju dekat ke arahnya, Ric menyeberang dan memungut puntung rokok itu.
“Eh, tinggal busanya?” gumam Ric sedikit kecewa sambil berpikir orang yang membuang puntung rokok ini pastilah tipe orang yang tidak menyisakan apa yang dimilikinya alih-alih super ngirit, bersaudara kembar dengan pelit.
Meski demikian Ric tetap menggenggam puntung rokok itu. Perjalanan Ric berlanjut ke kiri. Matanya terus mengarah ke bawah dari ujung kanan ke kiri. Dia sama sekali tidak mau melewatkan radar matanya kehilangan jejak puntung rokok yang sudah pasti akan ada di jalanan.
Nah, kan. Ric telah menemukan satu puntung rokok tepat di depan mata. Ketika mengangkat tubuhnya, pandangan sebuah kampus yang megah telah menatapnya. Ric memperhatikan lingkungan kampus itu, dan kemudian berpikir bahwa gedung itu pasti sebuah kantor para dosen. Kemungkinan keberadaan puntung rokok kecil.
Setelah mengantongi puntung rokok yang masih lumayan meninggalkan sisa tembakaunya, Ric melangkah lagi. Sampai di pertigaan kembali, dia membelok ke kiri. Masuk pada satu kawasan kampus yang luas. Ric mempunyai firasat di lingkungan kampus ini pastilah akan banyak puntung rokok yang berceceran.