PUNKER

Xie Nur
Chapter #9

Pada Pukul Tiga Dini Hari

Suara indah itu. Tidak seperti alunan musik yang selalu menghentak jantung Ric. Tidak seperti keriuhan yang mendenging di telinga. Suara yang terdengar kali ini menghaluskan detak jantung. Menidurkan telinga dari bising dunia.

Ric terbangun. Bukan karena merasa terganggu. Tetapi lebih pada terhipnotis seperti anak-anak yang mengikuti alunan musik dari peniup seruling Hamelin. Ric melihat ke arah jam dinding yang tersemat di atas pintu. Waktu sedang menandai angka tiga pada jarum pendek, sementara jarum panjang menunjuk di angka sebelas, dini hari.

Ric kemudian mengganti posisi tidur dengan kepala menghadap ke pintu, yang mana pada ujung sebelah kanan, Ayom tengah melantunkan Qur’an dengan lagu yang menawan. Baru saja Ric akan mendengarkan dengan saksama, Ayom telah menyelesaikan bacaannya. 

“Sudah selesai?” tanya Ric membuat Ayom terkejut dan menoleh.

“Apa aku mengganggumu?” tanya balik Ayom.

“Tidak,” sahut Ric yang sudah tengkurap dengan kepala terangkat mengarah pada Ayom. 

“Kamu mau membaca juga?” tawar Ayom pada Ric seraya mengulurkan Al Qur’an. “Mau aku letakkan di mejamu?”

“Tidak usah,” balas Ric. “Memang nanti tidak mengantuk ya, jam segini sudah bangun dan lanjut sampai pagi.”

“Udah biasa, malah enak gini. Yang penting jangan tidur kemalaman.”

“Iya, kamu berangkat tidur seperti bayi. Habis Isya langsung terkapar.” Ric teringat semalam setelah dari masjid, Ayom langsung bergelung dengan kasur.

“Enak mengerjakan tugas kalau pagi. Bisa fokus.” terang Ayom yang begitu bangun tadi melaksanakan salat tahajud dulu, baru membaca Qur’an dan mengerjakan tugas.

“Kamu mau menjadi guru?” tanya Ric penasaran dengan pilihan kuliah Ayom pada Fakultas MIPA dan mengambil jurusan matematika.

“Bisa iya, bisa tidak. Tergantung arah angin akan membawaku.”

“Kok gitu? Kamu kuliah atas pilihan sendiri atau disuruh orang tua?”

“Pilih sendiri. Aku suka matematika.”

“Matematika memang menyenangkan,” tanggap Ric terlihat menerawang.

“Benar, sangat menyenangkan. Apalagi kalau bisa menyelesaikan soal-soal yang sulit,” Ayom mengganti posisi tubuhnya bersandar pada meja menghadap tempat tidurnya sendiri.

“Ah, silakan kerjakan tugasnya. Sori, malah mengajakmu mengobrol,” ucap Ric sembari berbaring kembali. “Aku mau melanjutkan tidur.”

“Kamu menato tubuhmu, apa itu tidak sakit? Yang kudengar membuat tato itu sakit. Kenapa mesti nekat menyakiti tubuh sendiri.” Bukannya mengerjakan tugas, Ayom malah mempertanyakan mengenai tato Ric yang hampir memenuhi kedua tangan.

“Lumayan sakit,” tanggap Ric menjuntaikan kepalanya hingga tengadah dan dapat melihat Ayom. “Akan tetapi kalau jiwa sedang sakit, rasa sakit di tubuh itu tidak berarti apa-apa.” 

“Apa yang membuat jiwamu merasa sakit?”

“Banyak hal,” ucap Ric. “Banyak pertentangan yang terjadi antara diriku dengan orang tua, dengan keadaan sekitar dan dengan diriku sendiri.”

Lihat selengkapnya