Semua mata memandang dengan wajah antusias pada laki-laki muda berpeci, berjanggut rapi dengan suara yang terdengar halus. Sangat berbeda dengan penerimaan Ric saat memperkenalkan diri beberapa hari yang lalu. Melihat pada situasinya saja sudah beda. Laki-laki muda yang bernama Zakaria itu datang dengan niat baik ingin ikut tinggal di asrama putra. Dia pun terlihat sangat sopan dengan sering menundukkan kepala pada penghuni asrama lama.
Pokoknya bertolak belakang hingga seratus delapan puluh derajad dari Ric yang datang dengan menimbulkan keresahan, berlanjut pada huru-hara perkelahian yang sebelumnya belum pernah terjadi. Lagi pula pembawaan Ric memang terlihat pongah, tatapannya begitu dingin seperti ular yang hendak mengincar mangsanya. Meski senyum tergambar di wajah, akan tetapi senyum Ric lebih membawa kesan preman yang sedang merayu demi uang.
Zakaria mempunyai senyum yang menawan. Ibarat Yusuf yang membuat Zulaikha tergila-gila. Bisa dipastikan pembawaan Zakaria itu bisa membuat meleleh semua penghuni asrama putri. Meskipun pada dasarnya Ric juga memiliki paras yang tidak berbeda dari idol Korea. Tetapi pembawaan Ric yang urakan dengan tato yang memenuhi kedua lengannya, belum lagi model rambutnya yang mirip penampakan iguana yang merayap di kepala. Sudah pasti membuat wanita akan ilfil begitu melihatnya.
“Saya kuliah jurusan kedokteran,” lanjut Zakaria melanjutkan perkenalannya.
“Semester berapa, Mas?” tanya Adinata yang juga kuliah kedokteran. Dia merasa punya teman untuk diajak berdiskusi nantinya.
“Masnya sendiri semester berapa?” Zakaria malah balik tanya.
“Adinata, semester tujuh,” sahut Adinata sembari menyebutkan namanya sebagai perkenalan.
“Saya baru masuk kuliah,” ucap Zakaria dengan senyum hormat pada Adinata. “Mohon bimbingannya Kak,” lanjutnya membuat Adinata mengangguk senang.
“Wah, kalau kita sakit bisa tenang. Ada dua dokter di asrama kita,” tanggap Fero yang akan menjadi teman satu kamar Zakaria, di lantai satu.
“Tetapi kami belum punya wewenang untuk mengobati,” kata Adinata.
“Kalau memberi saran kamu bisa, kan? Obat apa yang harus diminum pas sakit,” timpal Haqi. “Perkenalkan saya, Haqi.”
“Ya, bisa sih. Kalau sakitnya yang umum terjadi, dan obatnya dijual bebas.” cengir Adinata.
“Apa perlu saya membangun klinik untuk anak-anak asrama?” tiba-tiba Pak Abu mengemukakan ide.
“Boleh itu, Pak. Untuk membuka lapangan kerja bagi kami nanti,” ucap Adinata terlihat bersemangat. “Mungkin bisa bekal praktek kami sebelum lulus. Untuk magang gitu, tetapi Pak Abu tetap harus memiliki dokter berlisensi juga.”
“Ah iya, nanti itu saya pikirkan lebih lanjut. Membayar dokter tidak bisa murah, kan?” tawa Pak Abu menggema.
“Yang pasti setelah dokter Adinata nanti lulus, akan ada lagi dokter pengganti,” ujar Mufaiz. “Pak Abu tidak usah khawatir, selama ini kesehatan kami terjamin kok, selama ada dokter Adinata.”
“Aku tidak ngapa-ngapain, lho!” sergah Adinata yang tidak ingin diistimewakan.
“Tapi saran obatmu selalu manjur,” balas Mufaiz yang langsung memperkenalkan diri pada Zakaria.
“Sepertinya saya harus banyak berguru pada dokter Adinata,” ucap Zakaria ingin berbaik-baik pada seniornya.
“Belajarlah yang rajin dan gantikan posisinya,” kata Sena menimpali.
“Yang baru saja bicara itu Sena.” Pak Abu yang menyebutkan nama salah satu anak asrama. Kemudian Pak Abu mulai mengabsen satu persatu penghuni asrama putra.
Setelah terjadi perkenalan dua sisi, Ric bangun dari duduk beranjak pergi. Menurutnya tidak ada yang perlu diobrolkan lagi. Cukup baginya mendengar kata-kata yang seolah mengelu-elukan pendatang baru itu. Bukannya cemburu, tetapi memang ada yang harus dia lakukan. Membuat asap dari puntung rokok yang berhasil dia kumpulkan hari ini, menjadi perkara yang lebih penting.
Tak disangka Ayom menyusulnya.
“Kukira kamu masih akan betah di sana,” kata Ric ketika Ayom menguntitnya menaiki tangga lantai dua asrama.