Ric tertawa tanpa suara sendiri. Dia teringat kejadian tadi pagi yang sangat menggelikan, menurutnya. Wanita prenjak itu, seperti kena tulah karena selalu cerewet padanya. Rasain! Rutuk Ric dalam hati.
Lihat saja, orang-orang yang kemarin menuduhnya mencuri pasti akan pada kena batunya juga nanti. Entah mengapa sore ini, Ric ingin menyumpahi penghuni asrama yang julid padanya.
Senyum puas terlukis seirama kepulan asap rokok yang membubung ke langit-langit. Asap itu, mungkin bisa menambah nuansa kelam jaring laba-laba yang tampak seperti jari yang hendak mencengkeram. Jemari tangan Ric menengadah, mengarah pada perangkap buatan si laba-laba. Bahkan dia membayangkan dirinya sebagai si pembuat jaring itu, seperti manusia laba-laba di film.
Namun, pikiran mengutuki Ric beserta angan dunia fiktifnya segera terganggu.
“Heh, maling! Kembalikan uangku,” todong Riyan serta merta. Di belakang Riyan ada Idzar seperti ingin menguatkan prasangka keduanya.
Ric menoleh sambil memicingkan mata. Kenapa orang ini selalu mencari masalah dengannya? Masih belum jera menuduhnya mencuri. Sekarang menuduh lagi.
Ric terduduk dengan jengah. Senyum asimetris terlontar.
“Kalian datang pada orang yang salah,” tanggap Ric acuh tak acuh.
“Kalau bukan kamu siapa? Sudah dua kali penghuni asrama kehilangan uang. Dan sekarang uangku yang hilang.” Riyan masih yakin kalau pelaku pencurian uang, Ric.
“Carilah dengan benar, kamu lupa taruh, kali,” sahut Ric cuek. “Lagi pula, masjid itu tempat terbuka. Siapa saja bisa datang sewaktu salat.”
“Tapi sebelum itu tidak pernah ada kejadian kehilangan uang. Setelah kamu datang, kenapa ada yang kecurian.” Idzar menguatkan praduga Riyan.
“Kamu lupa mengunci pintu?” tanya Ric pada Riyan.
“Pintuku selalu terkunci. Tidak mungkin aku lupa.”
“Oh ya? Bagaimana dengan teman sekamarmu?” Ric mencari titik keteledoran Riyan.
“Dia juga selalu mengunci pintu. Kami tidak pernah lupa,” sanggah Riyan tidak mau kalah.
“Yakin?” Mata Ric mencengkeram mata Riyan yang segera mengalihkan. “Padahal sifat manusia itu pelupa, sering alpa. Tidak ada yang sempurna. Bisa jadi saat uangmu hilang, kamu sedang menjadi manusia yang sejatinya.”
“Alah! Banyak bacot, kamu! Kalau tidak mau mengaku, aku laporkan kamu ke Pak Abu,” ancam Riyan yang justru memicu tawa Ric.
“Oke, kalau aku memang yang mengambil uangmu, dengan keadaan pintu kamar yang terkunci seperti katamu. Terus gimana caranya aku bisa masuk?” balas Ric segera.
“Yah, bisa jadi waktu itu aku memang lupa menutup pintu, dan kamu mengambil kesempatan itu,” Riyan membalik kata-katanya sendiri. Seperti sedang menjilat ludah yang telah dia lontarkan keluar dari mulut.
“Ada apa nih?” Ayom datang dari kuliahnya. Di belakangnya Zakaria terlihat menguntit dengan wajah yang tidak kalah penasaran.
“Dia mencuri uangku.” Jari telunjuk Riyan menuding langsung pada Ric.
Ayom memandang Ric dengan tatapan tidak percaya.
Ric menghempas napas dengan kasar. “Kalian mau geledah kamarku lagi? Silakan!”