PUNKER

Xie Nur
Chapter #15

Percakapan Panjang Dengan Perempuan Bernama Nai

Sebuah tas plastik warna hitam di lemari persediaan cairan pembersih membuat Ric penasaran. Apakah Pak Abu membeli lagi cairan pembersih yang stoknya masih ada? Memang letak plastik itu agak tersembunyi dibalik botol-botol cairan pel, cairan pembersih kaca juga cairan pembersih toilet. Tangan Ric sudah memegang tas plastik itu, membuka ikatan yang tidak terlalu kuat dan menjadi tercengang ketika melihat dalam plastik itu satu amplop cokelat menggembung dalam ukuran sedang.

Ric membuka amplop cokelat itu tanpa prasangka. Namun, seketika keningnya telah mengerut. Dia pun segera memastikan satu hal yang teringat olehnya. Tidak salah lagi. Dua ikatan kertas dengan panjang lima belas senti meter dan berwarna kemerahan itu memiliki nomor urut yang beruntun. 

“Kenapa ada di sini?” desis Ric sembari berpikir pasti yang mengambil orang dalam. Bisa jadi salah satu penghuni asrama putra. Dan dia hendak menjebakku. Batin Ric. Lalu menimang uang yang jumlah telah berkurang.

Ric memasukan uang yang ditemukannya itu kembali ke amplop dan plastiknya. Dia lalu menuju rumah Pak Abu. Ingin menyerahkan uang itu padanya sebelum dikembalikan pada Riyan. Terus terang Ric enggan berurusan dengan orang yang telah menuduhnya semena-mena. Tanpa bukti dan saksi, bisa dikatakan bahwa tuduhannya itu semacam hoaks. Atau yang lebih parah mengarah pada fitnah. 

Lalu terlintas juga bahwa yang meletakkan uang itu justru Riyan sendiri. Untuk motif jelas, karena pemuda itu tidak suka padanya. Entah dengan alasannya? Meski Ric bisa sedikit menduga ketidaksukaan Riyan, disebabkan oleh penampilannya.

Ric tersenyum sinis. Kenapa orang selalu menilai seseorang dari penampilan? Mata manusia memang gampang kena tipu daya. Asalkan sampulnya menarik pasti banyak yang akan meminangnya. Tidak peduli bila dalamnya mirip rongsokan, atau memiliki borok dengan bau yang menjijikkan.

Rumah Pak Abu tertutup rapat. Tiga kali ketukan, tidak terdengar jawaban. Hingga sebuah suara menyahuti dari belakang.

“Pak Abu sedang menjenguk saudaranya di luar kota,” kata seseorang dengan nada sengau di akhir kalimat. Ric langsung bisa menandai siapa yang bicara.

“Oh kamu,” tanggap Ric. “Kira-kira nanti pulang jam berapa?”

“Beliau belum lama berangkat. Mungkin sore baru pulang. Tapi enggak tahu juga.” perempuan yang kerap menegur Ric, perempuan yang menurut Ric sering terjatuh itu lalu melangkah pergi.

“Tunggu!” cegah Ric berhasil memalingkan perempuan yang selalu memakai gamis warna gelap.

Perempuan itu menoleh. Wajahnya nyengir, antara silau sinar matahari juga heran kenapa Ric menghentikannya.

“Kakimu sudah baik-baik saja?” tanya Ric yang teringat kejadian dua hari yang lalu. Saat perempuan itu jatuh terjerembab dan berjalan pincang ketika pulang ke dapur, entah ke asrama putri.

“Lumayan,” sahutnya dengan air muka terlihat malu, namun kemudian telah berubah seperti sedang menahan emosi. “Ah ya, terima kasih karena telah mengambilkan payungku, juga tertawa terpingkalmu.”

“Sori, kemarin itu refleks,” balas Ric. “Tapi syukurlah, sepertinya cuma luka memar ya?” Ric seketika merasa bersalah. Lagi pula saat itu dia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak mungkin memapahnya. Yang terpikir olehnya hanya seseorang yang bisa membantu menopang tubuhnya, dan sudah pasti itu partner kerjanya di dapur.

“Ada yang mau ditanyakan lagi?” tantang perempuan itu tidak mengindahkan celotehan Ric mengenai luka yang hampir mematahkan tulang keringnya.

Lihat selengkapnya