PUNKER

Xie Nur
Chapter #17

Tetap Menjadi Tertuduh

 Pak Abu menyerahkan uang hasil penemuan Ric di gudang peralatan dan perlengkapan kebersihan kepada Riyan. Mata Riyan kemudian memicing menghakimi Ric sebagai pelaku.

Siang tadi Pak Abu baru pulang dari rumah saudaranya yang sakit. Beliau langsung memanggil Ric untuk mengetahui kronologinya. Termasuk memanggil Mang Anwar untuk menanyakan apakah dia tahu tentang plastik hitam itu. Nyatanya Mang Anwar yang tugasnya mengurusi kebun tidak membuka lemari penyimpanan cairan pembersih.

Dan di sinilah Ric dan Riyan berada setelah salat Isa. Di ruang tamu Pak Abu dengan kursi ukirnya.

“Jadi ke mana yang satu juta lagi?” tanya Riyan setelah memeriksa uangnya yang hilang.

“Mana aku tahu,” tandas Ric sambil mengangkat bahu dan tersenyum sinis.

“Di sini Ric sebagai penemu, bukan pelaku.” Pak Abu meluruskan prasangka Riyan yang tidak berakhir seiring dengan uangnya yang kembali meski tidak lengkap.

“Tetapi Pak, bagaimana kalau pencurian ini akan terus terjadi?” bantah Riyan. “Sudah ada dua korban di asrama putra dan satu di asrama putri.”

“Itu biar kami nanti yang memikirkan,” kata Pak Abu. “Mungkin saya akan memasang CCTV. Tapi sebelum itu, seperti yang pernah saya katakan ketika uang Idzar hilang. Bukankah saya sudah mengingatkan agar masing-masing menjaga barang berharga milik masing-masing. Kalau memang merasa tidak aman meninggalkan uang atau benda berharga lain, sebaiknya bawa itu saat kuliah atau keluar.” Berhenti memandang Riyan dan Ric secara bergantian. “Yang namanya tindak kejahatan, bisa terjadi karena memang ada kesempatan.”

Mendengar itu Ric menjadi teringat kata-kata Ayom tentang peluang. Siapapun bisa berpeluang menjadi pencuri bila diberi kesempatan. Macam lemparan dadu. Angka berapa pun bisa berkesempatan menggulir dan jatuh menghadap atas atau bawah tergantung kuasa tangan yang melemparkan.

“Jadi Pak Abu justru menuduh Dion, teman sekamar saya yang mengambil uang saya?” Riyan membuat kesimpulan berdasarkan fakta pintu kamar tidak mengalami kerusakan. Dan saat kembali kondisi pintu masih terkunci.

Pak Abu mengerutkan kening, “Bukan begitu. Saya tidak mau kita saling menuduh sebelum ada bukti yang akurat. Itu akan membuat suasana asrama tidak nyaman. Saran saya, tetap tenang dan selalu waspada.”

Riyan terlihat mendesah tidak puas. Sesekali matanya menatap pada Ric seolah mengancam.

“Apa?” tantang Ric menjadi kesal saat mata keduanya beradu pandang. “Kalau aku memang pencurinya pasti aku sudah membeli HP baru atau malah kabur dari sini. Kamu tahu, hanya orang tolol yang masih bertahan setelah berhasil mencuri dari dua orang.”

“Sst, Ric.” Pak Abu menenangkan Ric yang bahasa tubuhnya seolah ingin menelan Riyan utuh-utuh. “Tolong semuanya kondisikan hati dan pikiran dengan berpikir yang baik, positif. “Riyan, terlebih lagi kamu, coba salat istikarah dan minta petunjuknya. Biar hatimu menjadi tenang.”

“Tapi uang ini, seharusnya saya bisa membayar KKL.” Riyan mengadu dengan wajah yang telah berubah sendu.

“Nanti saya bantu,” ucap Pak Abu menegakkan kepala Riyan yang semula terkulai.

“Tapi, Pak.” Riyan merasa tidak enak hati. Dia menjadi teringat bahwa sebelumnya Pak Abu juga mengganti uang Idzar yang hilang.

“Tetapi saya tidak bisa mengganti penuh.” Senyum Pak Abu terlontar setengah malu.

Lihat selengkapnya