Sebenarnya pikiran Ric sedang kacau tidak karuan. Tuduhan sebagai pencuri yang terus tertuju kepadanya membuat Ric gerah. Tetapi Ric tidak mungkin hanya berdiam diri sambil merumuskan siapa pelaku yang sebenarnya sementara mulutnya butuh menghembus asap yang menurutnya bisa menjernihkan pikiran.
Ide yang yang telah tertata beberapa hari yang lalu, kini hampir terwujud. Waktu itu Ric membantu Mang Anwar membersihkan gudang perkakas yang sebagian besar dalam kondisi rusak. Saat melihat galon bekas, lalu panci-panci yang sudah tanpa telinga atau dalam kondisi berlubang, dan Mang Anwar memukul bekas galon air secara berirama untuk menghibur diri sendiri. Seketika sebuah wacana berkembang.
Ric lalu mengambil solet yang patah kemudian ikut memukul panci yang bertebaran. Satu musik acak mengudara. Keduanya tertawa. Ric tergerak ingin merangkai barang-barang itu menjadi alat musik untuk bekal mengamennya.
Tentu saja. Ric telah merasa bosan merokok dari puntung rokok yang dipulungnya. Dia harus melakukan sesuatu agar bisa membeli rokok dengan uang sendiri. Dan setelah menimbang beberapa kali, sembari berpikir mau mengamen dengan menggunakan alat musik apa, akhirnya satu momen memberinya satu pencerahan.
Bagaimanapun, Ric tidak suka bila mengamen hanya dengan bertepuk tangan atau memakai kecrekan dari tutup botol. Terlalu tidak berdaya kreasi. Terlalu sederhana alias malas. Terlalu terkesan mengemis.
Setelah meminta izin Pak Abu menggunakan barang bekas sebelum dirongsokkan. Pada sudut garasi yang kosong Ric sedang merangkai seperangkat barang bekas menjadi alat musik perkusi dengan dibantu oleh Mang Anwar yang menyiapkan penyangga segitiga dari bambu.
Galon ditempatkan di tengah mengurung batang bambu berkaki. Dua buah panci diikat dengan menggunakan ban dalam bekas pada sisi kiri dan kanan. Kemudian ada wajan yang dua telinganya diikat sehingga pantatnya menghadap perut pemukul. Botol kaca bekas sirup ikut nyempil di antara wajan dan panci bekas.
“Terus gimana kamu akan membawanya?” tanya Mang Anwar ketika alat musik mengamen Ric telah jadi. Keduanya menyelesaikan rangkaian itu dari bada Zuhur hingga menjelang Asar.
“Kalau ada ban bekas lain, bisa untuk tali gendongnya,” kata Ric.
“Sudah tidak ada,” kata Mang Anwar. “Kecuali kamu mau mencarinya di tukang tambal ban.”
“Benar juga, berarti hari ini belum selesai,” keluh Ric yang sudah membayangkan besok siang dia sudah bisa mulai konser di pinggir jalan.
“Tapi tanpa itu sebenarnya masih bisa dipanggul di pundak,” kata Mang Anwar.
“Ya ya...” balas Ric yang ternyata seorang yang perfect. Meski menyetujui saran Mang Anwar, tetapi Ric tidak akan pergi dengan alat musik yang setengah jadi. Lagi pula dia perlu check sound terlebih dahulu.
“Yuk, salat Asar dulu!” ajak Mang Anwar pada Ric. “Setelah itu, baru lanjut lagi. Tapi setelahnya saya tidak bisa bantu.”
“Tidak apa Mang,” sahut Ric. “Tinggal bikin pemukulnya. Itu bisa saya kerjakan sendiri.”
Keduanya telah berjalan menuju masjid. Dua puluh menit kemudian Ric sudah mulai membuat pemukul untuk alat perkusinya. Bilah bambu sisa pagar kebun tanaman obat dan sayur, sedang Ric kerat agar permukaannya halus.
Kini saatnya Ric mencoba perkusi sederhana yang berdiri kokoh berkat Mang Anwar. Ric memainkan lagu dari grup band-nya dulu. Sebuah lagu yang mengkritik orang-orang yang suka membuang sampah sembarangan.
Salah satu liriknya ada kalimat: tidak mengapa menganggap kami sampah, tapi jangan biarkan sampah yang sebenarnya juga berkeliaran di jalanan. Bikin sepat mata, woy! Bikin kotor lingkungan, woy! Masukkan itu ke tong sampah biar kami bisa mengaisnya.
Beberapa anak asrama yang lewat dan memarkir motor memandang Ric dengan perasaan heran. Malah ada yang mengira Ric sedang kesurupan. Terlihat dari gerak langkah mereka yang melipir jauh-jauh. Meski demikian Ric tidak peduli. Itu dulu merupakan lagu ciptaannya.