Ini hari Sabtu, Biru yang baru bangun tidur duduk di sofa dan memegangi perut yang lapar. Tadi sekitar jam 6 Ibun dan Papahnya pamit pergi joging dan langsung ke pasar. Jadi, pasti sarapan belum ada. Biru menyalakan televisi sekedar untuk membunuh rasa sunyi, entah saluran apa. Kemudian ia bangun berjalan kedapur dan membuka laci-laci pantry. Ia langsung tersenyum puas melihat sereal cokelat berbentuk kelopak bunga.
Biru memindahkan ke mangkuk dan menenggelamkannya dengan susu putih di kulkas. Ia bawa sereal-nya ke depan televisi dan menyantapnya. Saat mulutnya mengunyah sereal, matanya menelisik aneh pada televisi yang sedang menayangkan berita berjudul Kekerasan pada Anak. Ia tak sadar meletakan mangkuk sereal-nya pada meja di hadapannya.
" ... Kejadian ini diketahui tetangga korban setelah korban meminta tolong pada Jum'at pagi dengan keadaan badan penuh memar dan pelipis yang berdarah. Berdasarkan keterangan warga, ayah korban memang terlilit hutang dan suka mabuk-mabukan. Ayah korban diamankan polisi berdasarkan pernyataan sang anak bahwa ia mengalami kekerasan oleh ayah kandungnya sendiri selama dua tahun."
Biru menatap nanar reporter yang menyiarkan berita tersebut, meskipun tidak ada tayangan alias hanya sekilas berita oleh penyiar. Matanya membinar sangat sedih. Ia menatap ke arah lain cukup lama, terdiam. Saat matanya kembali ke televisi sudah beralih berita Kebakaran yang Menewaskan Satu Keluarga.
" ... Belum diketahui pasti penyebab kebakaran terjadi, namun polisi mengamankan barang bukti yang menguatkan jika kebakaran terjadi karena unsur kesengajaan orang luar. Saat ini jasad korban sedang di otopsi untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut mengenai ..."
"Biru, jangan bengong!" pekik Jani yang tiba-tiba muncul di depan Biru.
Biru melihat Papahnya mematikan televisi yang ia tonton dan menggiringnya ke meja makan untuk memakan bubur ayam yang dibelikan untuk sarapan anaknya. Namun Ia berbalik mengambil mangkuk sereal-nya dan lanjut menyantap sereal diteruskan dengan bubur ayamnya.
•••
Keluar kamar mandi, layar ponsel Biru berkedip menandakan notifikasi masuk. Kemudian ia melihat 1 panggilan tidak terjawab dari nomor tidak dikenal. Namun, satu notifikasi muncul. Pesan masuk dari nomor tersebut yang berisi satu baris kalimat.
From +62 85601xxxxx
Ini pacar Mentari. Gue mau ngomong, ketemu di Taman Cerdikiawan.
Biru terheran membaca pesan tersebut dan menghela napas. Tapi Biru penasaran apa yang ingin dibicarakan oleh orang yang suka mempermalukan pacar sendiri.
Biru pamit pada orang tuanya hanya untuk keluar sebentar. Namun, yang terjadi adalah mereka bertengkar hingga Biru sungkan pulang karena lebam di mukanya.
"Lo bener diminta Mentari buat rebut dia dari gue?" ucap Gerald. Tatapanya terlihat penuh amarah.
Biru hanya mengangguk membenarkan pertanyaan dari Gerald.
Gerald melangkah lebar dari tempatnya dan menghampiri Biru. Saat tangannya mengepal ke arah Biru, Biru ingin memberi aba-aba berhenti namun Gerald sangat tergesa hingga tangan terkepalnya ditahan kepalan balik Biru.
"Jangan main gas dulu Bro, nama gue aja belom tau, 'kan?" Biru berdehem sebentar, ia menahan tawa melihat Gerald begini. Kemudian melanjutkan.
"Nama gue Biru. Salam kenal buat Gerald, calon mantannya Mentari." Tatapan angkuh Biru suguhkan ketika ia menyebut lelaki bermata sabit itu sebagai calon mantan.
Gerald menjauh, menatap tajam manik hitam Biru. Sepertinya ada bom yang siap meledak saat itu.
"Berengsek lo, Lo nggak bakal bisa dapet Mentari!"
"Gue nggak bilang bakal dapetin Mentari," ujar Biru arogan. Memang tujuan utamanya bukan itu lagi. Semenjak turun dari bus, tujuan Biru berubah haluan. Biru tau hubungan Mentari dan Gerald sudah sangat sulit diputus dan sangat sulit terputus. Sebab nada arogan Biru, Gerald makin panas hingga ujung kepala.
Satu tinju pada pelipis Biru tak membuatnya jatuh. Mata Biru menajam karena ia merasa tak pantas mendapat hukuman tinju dari Gerald. Sebelum Gerald menambah tinjunya. Biru membalas dengan pukulan pada rahang lelaki itu.
Gerald membalas dengan tinju di perut kanan dan kiri Biru bertubi. Hingga Biru mundur terbatuk namun kembali maju.
Beberapa kali tinjuan dan pukulan dilayangkan masing-masing dan saling balas.
Biru menatap penuh mata Gerald. Saat Gerald ingin melayangkan tinju lagi tangannya sigap mengambil pergelangan laki-laki itu dan memutarnya untuk membuat kuncian di belakang.
"Gue kesini bukan buat bahas siapa yang berhak dapet Mentari, itu terserah Mentari. Dia berhak punya keputusan. Gue kesini buat ngasih tau lo Ger, gue deketin Mentari tujuannya bukan buat milikin, tapi nemenin sisi Mentari yang selama ini muak dan tersiksa karena nggak bisa ngelepas lo!" Biru berujar dengan nada tinggi dan menekan tiap katanya.
Biru melepas kunciannya dan meninggalkan Gerald yang hanya diam tak bergeming setelah Biru menyelesaikan kalimatnya.
•••
Biru meraih kunci motor dalam saku celananya, saat ingin memasukan kunci dalam ruangnya ia terdiam menghela napas dan hanya bersandar pada motornya. Matanya melirik kaca spion yang menampakan wajahnya sangat berantakan.
Ia memang memarkirkan motor agak jauh dari tempatnya bertemu. Dari sini ia bisa lihat Tukang Es Kelapa yang sedang mengibas-ngibas topinya harap-harap mengurangi panas siang ini.
"Bang, satu ya," ucap Biru sambil merogoh kantongnya menacari selembar kertas karena ia sadar kalau tidak bawa dompet. Niatnya kan memang hanya bertemu Gerald sebentar. Untung ia menemukan lembaran kertas berwarna ungu di kantong.
Tukang Es Kelapa yang duduk langsung bangun dan siap melayani.
"Habis dihajar preman Bang?" Biru terkekeh mendengar pertanyaan dari Tukang Es Kelapa. Logat sunda yang menguar dari Tukang Es Kelapa sangat kental.
"Iya, dihajar di sana Mang. Atuh ati-ati kalau mangkal didieu ya, Mang." Biru meledek. Ia tau kalau Tukang Es Kelapa hanya basa-basi bertanya. Jelas, Biru bukan abang-abang yang suka main tonjok-tonjokan. Biru sudah cukup sering ke daerah ini dan membeli es kelapa dengan Mamang ini. Bahkan Mamang ini sering kali menanyakan Biru sekolah dimana dan kelas berapa saat membeli es kelapa dengan seragam sekolah yang melekat.
Tukang Es Kelapa hanya tertawa ringan menanggapi Biru sambil cekatan menuang kelapa.
Tanpa sadar sosok dengan kemeja kotak-kotak yang dibiarkan tidak dikancing berlapis kaus dengan celana Jeans datang dari arah barat sambil berkutat pada ponselnya. Sosok itu melewati Biru dan Tukang Es Kelapa dengan acuh.
Sepertinya ingin menyebrang, ditengoknya ke kanan. Dan kakinya ingin melangkah. Namun, cekal tangan yang memutar badan ramping mengejutkannya.
Biru menarik lengan sosok itu kuat. Entah sekuat apa, sosok itu beberapa kali memutar dalam sekejap. Hingga sosok itu berada tepat di belakang punggung Biru.