"Halo, Mas. Nggak usah jemput, ya. Biar aku balik sendiri. Aku WA, oke."
"Siapa Ra?" tanya Biru dalam sela mengendarai motornya.
"Tukang Ojek. Hahaha." Ketawa Tera seram. Kemudian jeda beberapa menit.
"Mm, Bir, gue udah lama nggak ketemu ayah gue. Lo percaya nggak?" ungkap Tera.
"Percaya, yang ngomong 'kan lo." Biru hanya menimpali seperlunya.
"Kalo gue yang ngomong harusnya jangan dipercaya."
Biru diam berusaha mencerna maksud kalimat yang dilontarkan orang yang duduk di boncengannya. Ia membuat gerakan menegakkan bahu. Anggap saja keluar dari beberapa ketegangan yang dirinya tak mengerti.
"Jangan hakimin diri sendiri?" nada Biru terdengar perlu jawaban. Tapi itu bukan sebuah pertanyaan. Biru hanya memastikan, kalimatnya benar saran yang baik atau bukan, karena nada suara Tera tadi terdengar cukup putus harapan.
Tera menanggapinya dengan suara tawa. Seakan itu merupakan lelucon biasa. Biru melihat wajah Tera sekilas dari kaca spion. Mata Tera jelas meminta sebuah uluran tangan.
Biru berkelana menelusuri jalan sesuai arahan Tera. Kebetulan daerah ini komplek elite.
"Lo tinggal di rumah kaya istana kok masih kerja di kafe?" tanya Biru penasaran. Sungguh dari segi manapun, Rumah Tera sangat besar.
"Yang punya rumah 'kan bukan gue, tapi nyokap. Lagian gue nyanyi tujuan utamanya bukan uang, tapi nyalurin rasa." Iya enggak salah juga apa yang di bilang Tera itu.
"Yaudah gue balik, ya."
"Iya, hati-hati."
•••
"Dari mana, Bir?" suara Jani menyapa telinga ketika Biru masuk rumah.
"Biasa, Bun." Biru hanya menyeringai sambil menaik turunkan alisnya.
Biru mendekat ke Rinjani yang sedang memakan es krim di sofa depan televisi.
"Papah mana Bun?" tanyanya.
"Mandi, tadi abis masak sama Ibun."
Biru mambuka mulutnya, dan menunjuknya dengan jari. Otomatis tangan Rinjani menyendokkan es krim ke mulutnya.
"Ya ampun, itu muka kenapa lagi, sih Bir? Tonjok-tonjokan ama siapa lagi?" pekik Rinjani agak kesal. Pasalnya Biru memang sudah beberapa kali pulang dengan muka begini.
"Biasa, Bun. Jangan khawatir, Biru kan laki-laki," ujarnya tanpa rasa bersalah.
"Jangan sering-sering, ya. Kamu juga jangan-jangan udut, ya?" Ibunya bertanya sangat santai sambil sesekali melirik televisi dan menyendokan es krim kemulutnya maupun ke Biru. Hidungnya mengendus curiga pada anak tunggalnya.
"Udah rencana, sih. Kelas 2 aja kayanya Bun ngudut-nya."
Rinjani refleks memukul-mukul bahu Biru mendengarnya. Biru terbirit lari ke kamarnya.
"Biru mandi, abis itu makan! Jangan lupa mukanya kompres biar nggak makin jelek!" teriak Rinjani.