"Kaget, ya?"
Biru mengangguk antusias, padahal Mentari tidak dapat melihatnya.
"Hidupnya Gerald kaya pangeran, gampang. Dulu pas ayah gue masuk penjara, dia minta ibunya bawa gue pulang. Diturutin. Semenjak ibunya enggak ada, niatnya gue mau pergi aja. Tapi justru ibunya nggak ada itu, gue ngerasa dia butuh gue, Bir. Ya begitu, deh." Helaan nafas Mentari lagi-lagi menjadi jalan potong ditengah ceritanya.
Memang, saat di bus waktu itu, Mentari sudah mengatakan perihal kondisi keluarganya dan seberapa pentingnya Gerald jika diukur dari intensitas. Ia juga bicara tentang ayahnya yang di penjara dan ibunya yang sudah pergi sesaat setelah dirinya lahir.
Ayahnya di penjara karena tuduhan pembunuhan berencana, tapi Mentari mengatakan bahwa ayahnya tidak pernah melakukan itu. Ia yakin pasti ayahnya jujur, karena dari mata Mentari, Biru yakin pancarannya benar-benar merindukan kasih sayang ayahnya.
"Gue nggak akan minta kamar besar atau apapun yang bernilai, maunya sih serakah. Tapi, mereka baik. Rasa serakah gue keteken rapet-rapet."
"Makasih, Tar."
"Buat apa?"
"Makasih udah berbagi kesulitan lo ke gue," ungkap Biru. Suaranya amat tenang dan menyejukkan telinga.
"J-jangan bilang g-gitu!" Suara Mentari bergetar. Tak lama suara menarik nafas yang sangat sesak terdengar.
"K-kenapa? Maaf," ujarnya menyesal.
Lalu suara tangis terdengar. Biru setia mendengarkannya tanpa habis. Biar air mata itu keluar sekarang, semoga kesakitan yang ditimbun bisa menguap kemana.
Biru mengerti kalimatnya bukan membuat Mentari sakit hati. Tapi, ia membuat perempuan itu merasa tidak sendiri. Meskipun ada Gerald, Mentari pasti berpikir bahwa dirinya adalah sebuah beban.
Tak lama Biru bicara, setelah 30 menit lebih diam.
"Tar, kayaknya kalo gue nungguin lo nangis sampe 2 jam, bakal gue ledek seumur hidup. Lo nangisnya jangan lama-lama, ya. Telponnya gue tutup aja."
Mentari terdengar semakin berseru cara menangisnya, tapi mematikannya juga. Mungkin, Mentari sebal lantran jokes Biru tidak kenal tempat.
•••
Lelaki jangkung, yang sedari tadi mendengar Mentari menangis. Luruh ke lantai. Pasalnya hatinya terasa perih mendengar Mentari menangis tanpa mau berbagi dengannya.
Gerald berdiri dan ingin mengetuk pintu namun Mentari tiba-tiba membuka pintu kamar. Melihat sosoknya, Mentari refleks membalik badan agar air matanya tidak terlihat Gerald. Menteri mengusap kasar wajahnya sambil menanyakan keberadaannya.
"Kenapa nangis?" tanya Gerald dengan suara baritonnya yang amat khas.
Mentari hanya menggeleng.
"Bikinin krim kocok," ujar Gerald dengan nada sedikit merajuk. Ia menggenggam tangan Mentari lembut.