"Lo ... kalo mau pacaran, enggak, kalo mau selingkuh sama berengsek. Silahkan Tar." Gerald mengatakannya tanpa menatap mata Mentari namun menggapai bahu Mentari dengan gerik serius.
Mentari tau Gerald hingga akal bulusnya. Biasanya kalimat Gerald memang begini, ringkas. Tapi, tidak dengan maksud yang kompleks dan tidak lazim.
Kepala Mentari tidak siap dengan pengertian yang di translate otaknya terhadap perkataan Gerald. Ini pemikiran yang berat juga membebankan.
Saat Gerald hendak melangkah pergi, Mentari mencekal lengan itu.
"Ger ... ."
Gerald berhenti, mendengarkan meski enggan berbalik.
"Lo lagi nggak baik-baik aja, ya?" Mentari perlahan memeluk Gerald dari belakang meskipun ragu. Mentari tidak tau harus bagaimana menghadapi Gerald dengan perilaku asing ini.
Gerald pun sama, ia luluh dengan pelukan hangat Mentari namun tidak ingin menarik kalimatnya tadi. Matanya dipejamkan menghilangkan rasa ingin menarik kalimat. Gerald meraih tangan mungil yang memeluknya dan menatap Mentari penuh.
"Tar, gue udah nggak mau pikir panjang sekarang. Keputusan udah gue buat mateng-mateng, lo ikutin aja." Ini, Mentari bingung mengapa Gerald jadi orang yang bertele-tele.
"Ikut apa, nggak ngerti gue." Kali ini Mentari mengangkat alisnya bingung dengan Gerald.
"Udah malem, mending lo tidur." Gerald mendorong paksa bahu Mentari pelan hingga sampai depan pintu kamar Mentari. Lalu, ia pergi dengan kepala tertunduk. Meninggalkan Mentari dengan pikiran melayang; mencoba menebak isi kepalanya.
•••
Biru baru terbangun dari tidurnya di kelas. Bel pulang sudah satu jam yang lalu, ia terbangun sebab getaran pada tasnya. Ponselnya memiliki panggilan masuk.
"Halo ... ," sebrang sana berujar ragu.
Biru belum bangun sepenuhnya. Matanya menatap layar ponsel setelah tangannya mengulur membuat ponselnya tidak ditelinganya. Kepalanya pening, badannya butuh peregangan sedikit. Ia meletakan ponselnya sebentar. Biru memejam. Semenit kemudian, badannya ia regangkan karena kaku dan tegang. Entah efek bangun dari posisi tidur yang duduk tidak nyaman atau apa. Ini biasa dilakukannya.
Saat mata Biru terbuka, badannya baru terasa nyaman kembali. Kemudian matanya membola, terkejut. Layar ponselnya masih menampilkan nama Mentari dengan panggilan berjalan 4 menit lebih.
"Tar, mampus gue. Ngapain aja sih gue?" maki Biru pada dirinya yang tak sadar mengabaikan panggilan Mentari.
"Bir?" Mentari hanya tertawa renyah mendengar Biru mengumpati diri sendiri.
"Oh, Tar. Maap ya, gue kalo bangun tidur suka rada-rada," ungkap Biru dengan suara yang masih serak.
"Mm, Bir. Gue mikirin, kemaren Gerald ngomong gue boleh selingkuh ... ."
"Hah?!"
Biru memandang kosong papan tulis sambil perlahan mengedarkan tuju. Organ tubuhnya entah sangat ribut karena senang atau marah, tapi hatinya menjerit tertusuk. Mentari egois. Bukan berarti Biru selama ini mendekatinya karena ingin menjadi selingkuhan 'kan. Sakit hati rasanya jika selalu berada di nomor dua.
Dibalik kesakitan ini, terselip satu kalimat tanya di kepala kecil Biru yang mampu membunuh jawaban dari pertanyaan yang menyakitinya.