Sepatu berwarna hitam dengan sedikit corak bunga meniti langkah pada tangga garda depan teras rumah megah berornamen mewah. Tas yang digendongan diletakkan asal di sofa empuk ruang tamu diikuti pemiliknya duduk.
Mentari merebahkan diri asal kemudian bangkit dari sofa, ia berjalan ke dapur. Tenggorokannya kering, sekolah membuat kerongkongannya minta disuguhi yang sejuk-sejuk.
Ia hendak mengambil tasnya yang diletakkan asal di sofa sambil membawa gelas berisi air dingin dari lemari es. Perjalanan dari dapur ke ruang tamu itu panjang, rumah Gerald memang terbilang terlalu megah. Bahkan dua gelas air yang dihabiskan tak cukup untuk menyelesaikan jalan dari dapur ke ruang tamu.
Memasuki ruang tamu dan ia tak sangka melihat pemandangan kelabu yang akan ia kutuk dalam hidupnya. Mentari baru tau rasa ini, keasingan yang terjadi dihidupnya membuatnya bagai terjerat besi pagar dengan jebakan. Dengan netranya sendiri ia melihat Gerald dicium oleh perempuan di sampingnya.
Dan, perempuan itu bukan dirinya.
Selama pacaran, tidak, bahkan seumur hidupnya mengenal Gerald ia tak pernah menyentuh wajah Gerald dengan bibirnya. Ini mungkin terdengar sedikit krusial. Bahkan tidak wajar. Tapi matanya benar-benar melihat perempuan itu mengecup pipi Gerald. Jika saja Gerald bergerak satu senti, bibir mereka sudah bertemu.
Mentari bergeming ditempatnya, gelas yang digenggam sudah tercengkram geram. Ia berjalan dengan muka arogan dan mata tegasnya. Ditariknya lengan Gerald dari jangkauan perempuan itu, otak Mentari tak percaya tapi tangannya sudah menyangka.
Tangan Mentari dengan gelas berisi seperempat air ia tumpahkan pada perempuan yang tadi mengecup Gerald. Lalu, gelas kosong itu diserahkan pada Gerald yang matanya masih membola di tempat karena pergerakan Mentari tadi begitu mendadak
Perempuan itu memejam dan mengumpati Mentari tapi ia tutup telinga. Hanya rasa sakit yang berdengung saat ini.
"Tar, ini selingkuhan gue." Kalimat yang keluar dari suara bariton khas Gerald adalah kalimat terakhir yang terngiang hingga Mentari sampai di depan rumah Biru.
•••
Mentari menatap teras rumah dengan pandang yang bergeming, tak terbaca dan tak terkira. Biru dari tadi gemas ingin membahas Mentari akan pulang kemana, tapi tidak sanggup.
"Tar, gue rasa lo harus bener-bener bicara sama Gerald."
Mentari melirik malas, sepertinya kalimat ini tidak bisa membantu dari segi terkecilpun. Mentari tidak tahu, Biru juga sama penatnya dengan Mentari. Tapi, Biru membentur diri menjadi orang yang berkepala dingin.
"Enggak, berantem aja sekalian Tar. Lo marah, lo teriak, lo maki dia. Saran gue cuma satu. Lo ngomong apa yang nyakitin lo kayak sekarang!" Biru berucap dengan nada meninggi di akhir kalimat.
"Udah mau gelap, gue anter lo pulang Tar."
Untung saja dari sore pulang sekolah tadi, Ibun ataupun Papah tidak di rumah. Jadi, adegan pelukan tadi tidak ada yang menghakimi atau menyalahi. Bukan apa, Papah itu pebisnis tapi watak kerasnya bisa disetarakan dengan tentara. Sekali tidak tetap tidak.
Selama di motor, Biru maupun Mentari tidak bersuara sedikitpun. Biru sibuk berpikir, salahkah ia saat meninggikan suara depan Mentari.
Biru tak punya mantan atau pernah dekat dengan perempuan. Belum punya kadar peka perempuan jiwanya.
Jadi, minta maaf perlu atau tidak?
Biru tak tau apa warna jiwa Mentari sekarang. Apa mungkin jiwa kelabunya bisa jadi titik terang?
"Makasih Bir, maaf ngerepotin." Mentari mengusak mukanya yang sembap.
"Tar, gue minta maaf," ujarnya ragu meneruskan kalimatnya itu, perlu atau tidak.
"Lo nggak salah, jangan minta maaf," balas Mentari.
"Gue masuk dulu."
Biru melesat kembali ke rumah dengan membawa rasa bersalah.
•••
Berlalu bulan demi bulan, hingga tahun berjalan. Kemarin adalah hari terakhir dilaksanakannya ujian akhir tahun. Artinya dalam waktu dekat semua naik kelas.
Bodohnya, hingga di waktu inilah Biru masih bertahan di kondisi abu-abu di balik bayang-bayang Mentari dan Gerald. Sudah hampir satu tahun kurang tiga bulan. Mari tepuk tangan untuk menyangka itu adalah hari-hari superior. Bahkan, Rendra sudah tiga kali ganti gaetan kiranya. Luar biasa.
Meski begitu, Biru cukup santai dengan keadaannya. Yah, toh untuk apa selalu mempercepat langkah seakan dirinya memang benar-benar tertinggal jauh. Selama baginya tidak ada yang salah dan melenceng, ini bukan masalah besar.