You're My Blue

Risma Nur'aeni
Chapter #16

15 - The Black Mourn

Untuk anakku,

Mentari, pasti kamu sudah tau kalau ayah pergi. Ayah mau pulang sayang, ibumu udah nunggu. Ayah pergi bukan karena enggak sayang lagi sama kamu, tapi rasanya ayah percuma menunggu.

Mendekam di sini ayah sudah cukup bahagia, meskipun teman-teman ayah kasar tapi mereka baik ke ayah. Jadi, jangan anggap ayah pergi dengan enggak bahagia.

Ayah tau ini salah, tapi ini sudah jadi pilihan ayah. Kalau sampai ada teman kamu yang tahu kalau ayahmu seorang nara pidana, kamu pasti terbebani. Makanya ayah buruan pergi.

Kamu sehat-sehat ya. Ayah punya asuransi, meskipun nggak banyak semoga cukup. Mentari saja yang cukup ingat kalau ayah tidak bersalah, karena tidak ada yang percaya lagi. Ayah minta Mentari jangan lupa kalau ayah memang sial karena difitnah, ya.

Jangan nangis. Ayah pergi bukan mau lihat kamu sedih, ayah pengin kamu bahagia. Ayah tau kamu kuat, Mentari. Maaf kamu menderita karena ayah selama ini. Ayah minta maaf nggak bisa jadi ayah terbaik buat kamu. Ayah minta maaf nggak bisa membimbing kamu di masa penting ini. Maaf ayah enggak bersama kamu lagi. Maaf karena ayah udah pergi.

Mentari, ayah minta maaf. Tolong lanjutkan hidupmu yang masih panjang. Hidup baik-baik, Nak. Ayah sayang Mentari.

•••

Mentari tidak percaya, ia menggeleng kuat setelah mengingat surat yang ditinggalkan ayahnya. Air mata sudah memenuhi wajahnya. Dirinya tak kuasa, semenderita itukah ayahnya hingga menggantung diri?

Mentari sudah tak bisa menahan isaknya, tangis pilu terus dikeluarkannya tanda tak rela. Padahal, ia selalu berharap bisa hidup di kebahagian bersama ayahnya setelah ayahnya bebas. Ternyata tidak. Dada Mentari sesak, ia tak mampu membawa diri untuk percaya dengan yang dihadapinya.

Akan bersama siapa ia jika tak bersama ayahnya?

Kepergian ayahnya terlalu mendadak dan tak terkira. Selama ini ayahnya selalu berkata sambil tersenyum bahwa ia baik-baik saja. Kenyataannya ayahnya pergi karena tak kuasa menahan ini bukan?

"Tar, ayo pulang," suara khas Gerald terdengar samar ditelinganya.

"Ger, ini cuma mimpi 'kan?" tanyanya memekik pada Gerald dengan hembusan napas yang tidak teratur. Gerald mendekat ke Mentari mencoba merangkul Mentari dan memberi kehangatan.

"Tar, lo harus ikhlas, biar ayah lo bahagia."

"A-ayah!" Mentari masih tak bisa merelakan apapun yang terjadi, rasanya tak mungkin. Hingga pandangan matanya menggelap didekapan Gerald.

•••

Pemakaman ayah Mentari tidak banyak yang mengunjungi, beberapa hanya dari yang mengaku teman dan rekan kerja. Justru, Biru, Rendra, Tera, dan Bilah saja yang terlihat memenuhi. Hari Senin merupakan hari yang berselimut lara bagi Mentari. Memang kondisi ditinggalkan itu selalu pahit dan menyakitkan bagi siapapun. Tapi kenyataan kelam dari kematian memang harus diterima karena semua pasti berpulang.

Lihat selengkapnya