"Lapor Tuan, Edwin meninggal menggantung diri."
Pria yang berusia hampir setengah abad mengakhiri laporan anak buahnya. Meja kayu jati dengan pahatan khas pulau jawa menjadi saksi dari lengan yang memijat pangkal hidung.
Ketukan pada meja tanda berpikir itu menggema di ruang kerja yang megah juga mewah. Pria itu merasa sangat bersalah kepada temannya, tapi ia tak menyalahkan diri. Meskipun itu adalah temannya, nyatanya kebodohan tidak memilah siapa yang harus disinggahinya.
"Edwin bodoh! Kenapa bunuh diri?! Aku bisa mengeluarkanmu hanya setelah tiga tahun, bodoh. Harusnya menunggu saja!"
•••
"Mas aku takut menghakimi orang yang salah," ujar Rinjani.
"Maksudmu?"
"Mas Edwin setau aku baik sama Mas Ares, dia selalu ngebantu. Aku merasa itu nggak mungkin aja ... ."
Gibran menghela nafas. Memang penyelidikan mengungkap berdasarkan yang ditemukan juga pengakuan saksi. Meninggalnya Ares dan Nila membawa duka dan pilu bagi Gibran, Rinjani dan Biru. Efek besar muncul pada Biru yang berakhir tak mengenal siapa itu Ares dan Nila hingga sekarang.
Guncangan dan tekanan pada Biru sangat memiliki pengaruh besar, Biru bukan tak ingat tapi tidak ingin mengingat pahitnya kejadian itu hingga berakhir ia benar-benar melupakannya. Ingatannya terkubur dalam sampai tak ditemukan.
"Jan, kalaupun begitu semestinya kita nggak merasa bersalah. Bukti yang membawa Edwin menjadi tersangka, pihak lain juga nggak melakukan penuduhan ke Edwin tanpa bukti. Polisi sendiri kan yang mengumumkan kalau itu pembunuhan berencana?"
"Iyasih Mas, tapi nggak tau kenapa aku kepikiran," ujar Rinjani dengan pandangan tak terbaca.
"Nggak usah dipikirin Jan, uhm," gantung Gibran. "Aku mau bicara serius."
"Apa Mas?"
"Aku mau kita ikut program bayi tabung lagi, kasian Biru nggak ada temen. Kita coba ya?" bujuk Gibran.
"Kalo gagal?" Rinjani menatap penuh pusat pandang Gibran yang menatapnya serius.
"Ya, nggak apa-apa. Mas masih suami kamu dan sayang kamu kok." Gibran mengelus rambut Rinjani. Rinjani hanya membalas dengan tatapan remeh.
"Gombal," ujar Rinjani. Ia menatap televisi dan sangat terkejut melihat Biru yang sedang berdiri bersama muka bantalnya di anak tangga. "Astaga! Biru kamu ngapain?"
"Papah sama Ibun nggak tidur? Aku mau minum." Biru lantas berjalan ke arah dapur. Sebelum sampai di dapur, Biru berhenti sejenak.
"Papah tadi ngomongin siapa? Edwin, Almarhum Om Edwin ayah Mentari?" tanya Biru memincing.
"Maksud kamu?"
"Eh, enggak mungkin sih. Enggak jadi aku mimpi kayaknya." Gibran hanya menggeleng dan menghela nafas, menyuruh Biru kembali tidur. Setelah minum, Biru kembali naik ke kamarnya.
"Tidur yang nyanyak, Bir," teriak Gibran pada gemaan langkah Biru yang terdengar meniti tangga.
Menyisakan pikiran Rinjani yang semakin tidak enak mendengar pertanyaan Biru.
•••