You're My Blue

Risma Nur'aeni
Chapter #22

21 - Uncertainty of Gerald

Kehancuran.

Sebuah kata penuh dengan ambang terdasar dan tak bercahaya, omong kosong jika kebangkitan setelahnya punya harapan besar seperti yang diceritakan dan diberitakan orang-orang. Itu hanya ketika titik darah penghabisanmu betul-betul sudah tak perduli dengan bengis diri.

Tidak semua yang di dunia mampu bangun kembali dari kejatuhan satu itu. Tidak semua, sebab setiap orang berbeda dengan cara berbeda dan perihal berbeda. Berbeda. Siapa yang harus disalahkan atas kekejaman hidup yang dirasa terus membuntuti di tengah banyak perbedaan kesekian?

Ares, seseorang yang merasa memiliki batin terkuat justru malah menderita setelah kepergian istrinya yang tiba-tiba satu bulan lalu.

Ia kini malah difonis memiliki penyakit mental tak terduga karena jejak ayahnya yang sering melakukan kekerasan padanya saat masih kecil.

Tak pernah ingin ia memiliki bekas keji ayahnya yang dulu memperlakukannya semena-mena. Begitu tak ingin. Apa yang harus ia katakan pada Biru nanti jika dirinya menjadi pribadi berbeda?

Haruskah dirinya berkata sejujurnya?

Edwin, sahabatnya yang menyadari jika ada yang berbeda dari dirinya. Pernah sekali, Ares tidak mengenalnya ketika mereka berpapasan di jalan padahal mereka tak pernah putus kontak apalagi saling melupakan. Ia juga merasa, ada bagian dari dirinya yang tidak menjalani waktu seharusnya.

Itulah mengapa ia hanya bisa menyalahkan kehancuran dan tak bisa menyalahkan siapapun. Mau menyalahkan mendiang Ayahnya? Rasanya begitu percuma, beliau sudah berpulang. Tak baik menyalahkan yang sudah berpulang.

Mau menyalahkan diri, rasanya hanya membuang waktu. Iya, menyalahkan hanya membuang waktu.

Tok. Tok.

"Kenapa, Yah?" Ares muncul di daun pintu kamar Biru.

"Ayah, mau ngomong sebentar. Nila udah tidur?" Anak laki-lakinya mengangguk dan melihat adik kecilnya yang sudah tertidur di ranjang yang ia duduki. Ia beringsut menghampiri ayahnya.

Ares mengusak kepala Biru. Ia anak yang begitu penurut dan bisa diandalkan. Tak pernah mengecewakan.

Ares duduk di sofa ruang tamu. Menggamit sisi lengan kecil Biru lembut.

"Kenapa Yah?"

"Biru, Ayah mau kasih pesen sama kamu. Kalau Ayah berubah, kamu harus jaga Nila. Kalau Ayah berubah kamu ... jangan benci sama Ayah." Anak dihadapannya mengernyit heran

"Berubah gimana sih, Yah?" Ares menghela napas.

"Ayah berubah, kamu nggak paham sekarang. Tapi nanti pasti paham maksudnya."

•••

Biru terbangun lagi dari mimpinya, entah ini buruk atau baik. Ia tak bisa menafsirkan, tetapi ada bagian dari dirinya yang begitu tertegun dengan sorot mata orang dimimpinya. Ada satu rasa ingin bertemu menyebar dipenghujung lara, tidak tahu penyebabnya apa.

Ia menatap bulan, terlihat dijendela yang ternyata belum tertutup tirainya. Begitu menyorotnya seakan memberi sinar terindah pengiring tidurnya. Ia kemudian terduduk dan berjalan sedikit, sampai jendela. Pikirannya melayang bersama angin malam, apa arti dari mimpinya. Sesuatu yang tadinya diabaikan begitu mengganggu sekarang, seperti minta dicaritahu. Jendala dibuka, angin langsung menerobos masuk mengetuk hati Biru yang kemarin sempat membeku.

•••

Jam tiga pagi Rinjani keluar kamar, ia hanya akan minum dan kembali kekamar lagi nanti. Tapi ia cukup terkejut melihat Biru berbaring di sofa dengan mata menatap langit-langit serius. Anak itu bersikap demikian karena memaksakan pikirannya mengenai mimipi tadi.

Lihat selengkapnya