Tera menatap punggung Zarrel yang sedang memandang langit, tangan pemuda itu bertumpu dibelakang membuatnya terlihat begitu pasrah jika saja ia jatuh dari duduknya di tepian gedung. Kakinya bahkan sudah menjuntai dan dimainkan di sana. Ia berjalan dan membuat suara jejaknya terdengar ditelinga lelaki bermata tegas.
"Gue kelepasan, bilangin sorry sama Biru," katanya setelah itu helaan napas terdengar. Zarrel juga bingung dengan segala reaksinya mengenai Tera yang selama ini bagai keasingan dihidup Biru. Harusnya ia tidak emosional dan mampu menggunakan kepala dingin. Tapi nyatanya sulit. Bekas rajutan sukanya pada Tera belum hilang.
"Egois kalo gue nyalahin lo Zar," ujarnya kemudian duduk disebuah bangku tak bersandaran yang tak jauh dari tempat Zarrel. Bangku itu seperti dirinya, seperti kesepian padahal kakinya ada empat yang cukup untuk menjadi pilar duduk manusia dari bawah. Namun, semua manusia yang duduk di atas seakan hanya beban untuknya. Rasa hampanya lebih menghunus dari rasa patah hati kesekian kali.
"Gua kayaknya masih suka lo," ujar Zarrel tertahan. Ia berbalik menghadap gadis dengan rambut yang menjuntai indah terikat satu. Penampilan Tera banyak berubah juga, lebih rapih dari ketika Zarrel meninggalkannya.
Rasanya Zarrel tak berguna, bahkan Tera mengarah lebih baik walau Biru tak mengingatnnya setahun terakhir ini. Mereka yang ajaib atau dirinya tidak berguna?
Gadis itu melebarkan mata dan membuka mulutnya sedikit, tanda ia terkejut dengan pernyataan Zarrel. Tangan lentiknya menggaruk rambut terikatnya bingung.
"Gila kayaknya lo," ringisnya.
"Iya, gila gue nggak tau lagi." Zarrel mengeluh, ia juga berusaha membenahi hati namun emosinya tak bisa diajak kompromi. Pemuda itu mengusap wajahnya kasar dan memperlihatkan muka frustasinya.
"Lo beneran nggak mau sama gue setelah semua ini terjadi sama kalian?" bujuknya pada Tera. Dirinya ingin mencoba jahat. Hasilnya baik atau tidak, bisa dilihat nanti. Namun melihat gadis itu malah menutup mata dengan kedua telapak tangannya membuat dirinya tersadar, ia malah tambah membebani. Zarrel mengacak rambut kasar.
Tera menahan napas selama menyembunyikan matanya dari pemuda dihadapan, lalu menghembuskan napas berat.
"Apa susah lupain rasa lo ke gue Zar?" Tera juga rasanya ingin menyerah jika mendengar suara Zarrel dengan kalimat logisnya. Tapi entah kenapa ia tak mau menyentuh langkah yang ditawarkan oleh Zarrel.
Tak mampu rasanya membuang Biru yang terlalu berpengaruh dalam hidupnya, jalannya terasa begitu ringan ketika lelaki dengan rambut lembut itu hadir. Mengajarkannya berdamai serta mengikhlaskan segala yang terjadi. Segala bentuk perhatian dari Biru membuat bahagia seperti datang menyapanya. Entah, pengaruh Biru sangat besar.
"Gue nggak tau, perasaan gue nggak kepikiran lo sebelum ini. Tapi pas tau lo nggak diinget Biru, dateng ke gue langsung nangis, Biru suka yang lain. Respon gue nggak bisa disetir." Keluhan memilukan dari Zarrel kendati membuat Tera semakin berpikir lebih matang untuk kembali menggapai Biru. Lelah, tapi ia sudah berjalan terlalu jauh dan menginvasi hidupnya sendiri dengan nama Biru.
"Nyebelin, gue berasa orang bego kalo lo kasianin." Tera bangun, tangannya sempat membersihkan rok yang dikenakan dan beralih mendekat ke pemuda dengan rambut simple rapih.
"Gue harap rasa yang lo bilang keliru Zar," jeda Tera mengisi kesunyian bersama angin yang berhembus di atap perpustakaan sekolahnya menyapa permukaan kulit. "Lo cuma kangen gue sama Biru dan nggak rela orang yang bareng lo dulu lagi perang batin."
Tubuh ramping itu memberikan tepukan pada pundak Zarrel yang duduk dan melangkah ke arah lain, melihat Biru yang memainkan permukaan tanah dengan kaki membuatnya tersenyum dengan hati menghangat lagi. Seakan lupa, kalau Biru juga menggores perih di hatinya selama ini.
Zarrel kembali terdengar bernapas dengan keluh, menghadapi Tera dan Biru butuh sihir Harry Potter yang hanya fantasi semata. "Percuma gue ngerayu cewek gila kayak lo Din, yang ada gue ikut gila," ungkap pemilik netra legam.
Tera nyengir bersama deretan giginya mendengar penuturan Zarrel yang sudah di sampingnya sambil menatap jauh pada Biru yang duduk di kursi panjang.