You're My Blue

Risma Nur'aeni
Chapter #2

1 - Front

Sepatu Converse Chuck All Star High Top berwarna navy bergulir menabrakkan bagian bawahnya pada lantai. Setiap bunyi yang dihasilkan bagai khalayak penyemangat. Pelakunya fokus pada layar perangkat digital yang selalu didekap.

Selama waktu berjalan, babak berlalu, ketukan sepatu dengan suara yang semakin mengejar. Membuat sang pemain laga berambisi mengejar kata WIN!

Biru hanya fokus mentap layar ponselnya. Permainannya hampir selesai. Dan layar menampilkan papan perayaan bertuliskan 'WIN!'.

Meletakan ponselnya, dan menatap Rendra penuh angkuh. Seakan mengatakan 'menang nih gue!'.

Tak lama Pak Maran datang mengisi kelas.

•••

Setelah membahas beberapa teori, Pak Maran menyinggung perihal tugas yang sebelumnya sudah diberikan. Para murid harus maju satu-satu secara acak begilir untuk membacakan tugas itu.

Tugas dari Pak Maran mudah, ia menyuruh murid menuangkan sepenggal kisah yang masih mereka sesali sampai sekarang. Beberapa murid menganggapnya sangat baik karena selalu memberi tugas mudah, namun yang lainnya menganggap ini kurang berguna. Bukannya Pak Maran guru yang aneh, melainkan ia punya cara sendiri untuk membentuk emosi berkualitas dan jati diri pada masing-masing muridnya.

Rendra menceritakan bagaimana gagalnya dia memenangkan lomba melukis ketika masih sekolah dasar. Setelah lomba itu Rendra tidak mengikuti lomba lagi. Makanya ia sesali. Bakat lainnya tidak memungkinkan, untuk dilombakan. Memilukan.

Pak Maran memberi saran kepada Rendra untuk tidak menyerah, ia bisa mengikuti perlombaan lagi kalau mau. Kemudian Rendra duduk.

Tera ditunjuk setelah Rendra, Tera bukannya bercerita malah melantunkan sebuah puisi. Isinya penyesalan mendalam karena melepaskan, karena rasa kehilangan bukan hal yang mengada-ada. Rasa kehilangan bukan tentang apa yang ditinggalkan, melainkan setiap kata yang tercipta disetiap pertemuannya.

"Wah, Tera kenapa terdengar seperti puisi?" tanya Pak Maran.

"Kepengen aja, Pak."

"Kamu juga tidak menyebutkan, siapa yang kamu lepas dan mengapa kamu melepasnya ... ," heran Pak Maran.

"Biar itu jadi bagian dari privasi saya pak," ujarnya. Matanya menatap mata Pak Maran sebentar dan kemudian menatap teman-temannya. Terutama orang itu, sayangnya matanya terhalang sesuatu untuk menatap iris harapannya.

Lihat selengkapnya