Terik matahari mampu membuat kepala siapa saja mendidih. Tak terkecuali kepala Biru.
Hatinya mengumpat karena lapangan sekolahnya besar sekali, lapangan sepak bola ini sudah seperti stadion saja. Ia menyesal mengikuti perintah ayahnya masuk sekolah yang fasilitasnya top. Kalau di hukum lari muterin lapangan sepak bola 'kan, capeknya jadi nggak ketulungan.
Dari 24 putaran, Biru baru dapat 11 putaran. Karena sudah istirahat ke-dua, beberapa teman hanya melihatnya dari jauh. Sambil menatap malas dengan kegigihannya.
"Biru! Udah kabur aja, kita ngaso di atap yuk!"
Itu suara Garil, kedua tangannya seakan menjadikan suaranya makin keras dekat mulut saat berteriak.
Biru yang mendengarnya hanya terkekeh dan menyahut, menyuruh beberapa teman yang menunggunya duluan ke atap. Namun salah satu dari mereka malah menghampiri dan ikut berlari.
"Biru, udah kabur aja," rayu Rendra.
Biru hanya terkekeh di sela nafasnya yang terengah.
Rendra menghela nafasnya dan membiarkan Biru mendahuluinya untuk melanjutkan hukuman.
Putaran demi putaran terus dia lewati hingga putaran yang terakhir. Ia menghampiri Pak Maran yang memang datang saat ia menyelesaikan putaran terakhir.
Suara lelah Biru cukup terdengar hingga telinga Pak Maran.
"Makanya kamu kalo ada tugas kerjakan Lunar," ujar Pak Maran.
Biru hanya mengangguk, sambil mengatur nafasnya yang belum teratur. Kemudian Pak Maran pergi setelah menepuk bahunya pelan.
Nada dering dari telepon genggamnya terdengar. Lalu ia menyentuh tombol hijau.
"Kenapa, Ren?"
"Lo udahan, Bir larinya?" Suara dari sambungan telepon balik bertanya.