Alis Profesor Atmo terangkat naik, penasaran, tapi cukup sopan untuk tidak menanyakan lebih jauh. Profesor Atmo sangat menghormati privasi koleganya.
"Baiklah, aku terima alasanmu." Profesor Atmo menghela napas. Lebih pada sikap memaafkan karena Trea sangat jarang terlambat datang. Dia tahu kualitas mental kolega di depannya ini.
"Sekarang kita kembali ke topik. Kamu sudah mempertimbangkan tawaran kemarin?"
Trea mengangguk cepat. Ini kesempatan langka, belum tentu datang dua kali. Dia harus mengambil tawaran ini apa pun risikonya. Ngomong-ngomong, untuk alasan inilah mereka berdua harus bertemu siang ini. Tak afdol rasanya membicarakan hal super penting hanya lewat telepon.
"Saya terima, Prof." Trea mengangguk cepat.
"Bagus, kamu memang tak pernah mengecewakan, Trea." Profesor Atmo tersenyum puas. "Pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Waseda Gakuen adalah sebuah universitas yang tersohor. Kamu bisa belajar banyak hal di sana."
Trea mengangguk khidmat. "Terima kasih untuk dukungannya, Prof. Besok saya akan mengurus berkas-berkas yang diperlukan."
Berjam-jam kemudian Trea dan Profesor Atmo tenggelam dalam diskusi tentang perkuliahan. Maklum saja, Trea adalah asisten dosen dari mata kuliah yang diampu Profesor Atmo sekaligus salah satu anggota research team sang profesor. Saat diskusi itu selesai, tak terasa waktu hanya menyisakan tiga jam bagi Trea untuk mempersiapkan diri sekaligus pergi ke Restoran D'Pearl.
Trea melirik sebentar ke ponselnya dan mendesah keras. Belasan panggilan dan selusin pesan penuh teror dari Mama mengingatkannya agar tak lupa datang ke pertemuan dengan Thobi. Belum lagi sebuah pesan dari Mauri yang mengingatkannya akan kencan malam ini dengan sang manajer BUMN pilihan Mama Trea.
Kencan? Hah, yang benar saja!
Trea menggerutu dalam hati. Ini hanya sebuah makan malam perkenalan biasa, tak ada sesi kencan apa pun setelah ini. Trea bersumpah tak akan pernah mau berkencan dengan Thobi apa pun alasannya.
Ini aneh, dia sudah kehilangan respek setengah mati pada sosok Thobi yang notabene belum pernah dikenalnya sama sekali. Hanya karena mengetahui fakta pria bernama Thobi itu sudah memberikan perhiasan mahal pada sang Mama, di saat mereka berdua belum ada hubungan apapun, dengan segera menghancurkan minat Trea pada laki-laki itu. Iming-iming kemapanan sosok Thobi bahkan tak mampu menggoyahkan hati Trea. Dia tak sematre itu untuk rela melemparkan diri ke pelukan seorang laki-laki tukang sogok.
Meski tak ada niat meneruskan perkenalan, Trea juga tak ingin tampil asal-asalan. Justru dia ingin menampilkan citra wanita yang elegan dan anggun. Karena itulah, keluar dari gerbang kampus Trea langsung menggeber gas menuju sebuah butik eksklusif tak jauh dari tempat kerjanya.
Nama butik itu Xoxo, sebenarnya bukan butik favoritnya. Namun letaknya yang cukup cepat dijangkau menjadi pilihan Trea kali ini. Meski bukan favoritnya, koleksi gaunnya tak mengecewakan. Dengan keterbatasan waktu yang dia miliki, Xoxo Boutique adalah solusi terbaik yang dimiliki Trea. Gadis itu melirik arloji mungilnya dan mendesah keras-keras. Benar-benar mepet!
Dalam hati gadis itu merutuk keras. Sejak kapan dia mempedulikan konsep datang tepat waktu pada calon kencan yang sama sekali tak diinginkannya? Seolah dia menaruh harapan saja pada kencan konyolnya kali ini.
Tangannya menyambar sehelai mini dress putih bergaya cheongsam dari bahan brokat halus. Dipadankan dengan sepatu hak setinggi sepuluh sentimeter yang sempurna menutup kemungilan tubuhnya. Beruntung sebelum keluar apartemen Trea sempat menyambar anting mutiara koleksinya, hingga tak perlu aksesori berlebih untuk gaun indah ini.